Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Abdul Rozak

Energi Terbarukan untuk Rakyat: Mampukah Kita Lepas dari Jerat BBM Subsidi?

Iptek | 2025-04-26 12:27:49

Transisi energi menjadi isu strategis yang semakin penting bagi Indonesia, terutama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan upaya mengurangi emisi karbon. Sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar keenam di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk mengubah pola konsumsi energinya yang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Hingga tahun 2023, sekitar 86% dari total kapasitas pembangkit listrik nasional sebesar 93 gigawatt (GW) masih berasal dari sumber energi fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam. Batubara sendiri menyumbang sekitar 66% dari total pembangkitan listrik, menjadikannya sumber energi dominan yang sekaligus menciptakan ketergantungan tinggi serta risiko terhadap fluktuasi harga energi global. Ketergantungan ini tidak hanya berdampak pada ketahanan energi nasional, tetapi juga menjadi kontributor utama terhadap emisi gas rumah kaca yang mempercepat pemanasan global.

Sumber: Canva

Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada tahun 2025 sebagaimana tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional. Namun, hingga kini, realisasi bauran energi baru dan terbarukan (EBT) baru mencapai sekitar 15%, yang menunjukkan masih cukup jauhnya jarak antara target dan pencapaian. Bahkan, dalam berbagai diskusi kebijakan, pemerintah mempertimbangkan untuk menurunkan target tersebut menjadi kisaran 17-19% karena pertumbuhan kapasitas energi terbarukan yang masih tergolong lambat. Salah satu penyebab utama lambatnya transisi ini adalah kurangnya dukungan regulasi yang memadai, termasuk proses perizinan yang panjang dan rumit, serta tarif feed-in yang belum cukup kompetitif untuk menarik minat investor.

Selain masalah regulasi, tantangan lain yang signifikan adalah keterbatasan infrastruktur jaringan listrik, khususnya di wilayah Indonesia Timur dan daerah terpencil. Jaringan listrik yang belum merata membuat integrasi sumber energi terbarukan menjadi lebih sulit. Di sisi lain, harga batubara yang relatif murah dan ketersediaannya yang melimpah menjadikannya tetap sebagai pilihan utama dalam pembangkitan listrik. Ini menyebabkan ketergantungan struktural terhadap batubara sulit dipatahkan dalam waktu singkat. Sementara itu, persepsi masyarakat juga masih menjadi penghambat. Banyak kalangan masih menganggap energi terbarukan sebagai alternatif yang mahal, tidak stabil, dan belum mampu memenuhi kebutuhan listrik dalam skala besar. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang pentingnya transisi energi perlu ditingkatkan melalui edukasi dan sosialisasi yang masif.

Padahal, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Energi surya, misalnya, memiliki potensi teknis yang luar biasa karena sebagian besar wilayah Indonesia mendapatkan intensitas radiasi matahari yang cukup tinggi, rata-rata mencapai 4,8 kWh/m² per hari. Salah satu proyek yang menonjol dalam pemanfaatan energi surya adalah PLTS terapung Cirata di Jawa Barat dengan kapasitas 145 MW, yang menjadi proyek pembangkit surya terapung terbesar di Asia Tenggara. Proyek ini mampu menyuplai listrik bagi sekitar 50.000 rumah tangga dan diperkirakan dapat mengurangi emisi karbon sebesar 214.000 ton per tahun. Keberadaan proyek seperti ini menjadi bukti bahwa transisi energi bukan hal yang mustahil, namun butuh dukungan politik, pendanaan, dan partisipasi publik yang kuat.

Selain sektor pembangkitan, sektor transportasi juga mulai mengalami transformasi ke arah energi bersih. Misalnya, TransJakarta telah mengoperasikan 30 unit bus listrik sejak tahun 2022, yang dalam dua tahun telah menempuh jarak 2 juta kilometer dan berhasil menekan emisi sebesar 5,5 juta kilogram CO . Ini menunjukkan bahwa adopsi kendaraan listrik tidak hanya menjadi solusi bagi kota besar, tetapi juga langkah konkret dalam mengurangi polusi udara dan ketergantungan pada bahan bakar minyak.

Untuk mempercepat transisi energi, kolaborasi dari berbagai pihak sangat diperlukan. Pemerintah harus melakukan reformasi kebijakan dengan menyederhanakan perizinan dan menyediakan berbagai insentif fiskal serta non-fiskal bagi pelaku usaha yang ingin berinvestasi dalam sektor EBT. Sektor swasta diharapkan lebih aktif dalam pengembangan proyek energi bersih serta investasi dalam teknologi penyimpanan energi seperti baterai skala besar yang penting untuk mengatasi masalah intermittency dari energi surya dan angin. Masyarakat juga memegang peran penting. Adopsi teknologi seperti PLTS atap di rumah, penggunaan kendaraan listrik, serta partisipasi dalam program-program berbasis komunitas seperti pembangkit mikrohidro dan biogas dari limbah pertanian bisa menjadi langkah awal yang berdampak besar.

Edukasi publik harus ditingkatkan untuk mengubah paradigma dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya transisi energi, tidak hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga ekonomi jangka panjang. Pemanfaatan kearifan lokal juga harus diperhatikan, karena banyak potensi lokal yang bisa mendukung pengembangan energi bersih, terutama di daerah pedesaan. Dengan pendekatan yang holistik, keterlibatan semua stakeholder, dan komitmen yang konsisten, transisi energi di Indonesia tetap memiliki peluang besar untuk berhasil.

Langkah ini bukan hanya penting untuk memenuhi komitmen dalam perjanjian internasional seperti Paris Agreement, tetapi juga menjadi jalan menuju kemandirian energi nasional yang berkelanjutan. Transisi energi bukan hanya soal teknologi, tapi soal keberanian untuk berubah. Indonesia punya potensi, dan kini tantangannya adalah bagaimana mewujudkannya melalui sinergi kebijakan, investasi, dan kesadaran kolektif. Masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan bukanlah sekadar cita-cita, tetapi sebuah keharusan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image