
Pengakuan Israel, Pengkhianatan terhadap Konstitusi
Kolom | 2025-05-28 17:36:47
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada Rabu (28/5/2025) tentang kesiapan Indonesia mengakui Israel, dengan syarat pengakuan kemerdekaan Palestina oleh Israel terlebih dahulu adalah pernyataan yang tidak dapat dibenarkan, baik secara etik, historis, konstitusional, maupun moral.
Alih-alih memperkuat posisi Indonesia di mata dunia sebagai bangsa penjunjung keadilan global, pernyataan tersebut justru mengkhianati prinsip-prinsip dasar yang menjadi identitas politik luar negeri Indonesia sejak kemerdekaan. Kita wajib bertanya: atas dasar apa Presiden mewakili suara bangsa dalam wacana pengakuan terhadap negara penjajah?
Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Kalimat ini bukan sekadar basa-basi historis yang ditulis dalam semangat 1945, melainkan sebuah mandat konstitusional yang mengikat seluruh cabang kekuasaan negara, termasuk Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Jika kita mengakui Israel yang secara sistematis menduduki wilayah Palestina, menggusur ribuan warga, membatasi pergerakan, dan menindas penduduk sipil di bawah blokade kejam di Gaza—maka kita tidak sedang menjadi penengah damai, tetapi justru menjadi negara yang memutihkan kejahatan internasional. Ini adalah bentuk pembangkangan terhadap amanat konstitusi itu sendiri.
Tidak ada kompromi yang dapat dibenarkan dalam mengakui keberadaan negara yang lahir dan tumbuh dari ekspansi kolonialisme modern.
Pragmatisme Politik yang Menyesatkan
Mereka yang mendukung pernyataan Presiden kerap berdalih: “Ini langkah realis dan strategis.” Tetapi sejatinya, pengakuan terhadap Israel meski disertai syarat adalah langkah pragmatis yang berbahaya. Langkah ini tidak akan memperkuat Palestina. Sebaliknya, ia akan menjadi kartu diplomatik murahan yang justru memperlemah posisi Palestina dalam perundingan.
Sejarah membuktikan bahwa setiap upaya normalisasi hubungan dengan Israel oleh negara-negara Arab, seperti Mesir, Yordania, hingga Uni Emirat Arab, tidak pernah membuahkan kemerdekaan nyata bagi Palestina. Normalisasi justru mengendurkan tekanan internasional terhadap Israel.
Apakah Indonesia ingin menjadi bagian dari itu? Negara sebesar Indonesia tidak semestinya menjadi pengikut tren Timur Tengah yang pragmatis, apalagi ketika tren itu mengorbankan bangsa yang tengah berjuang meraih hak asasi paling dasar: kemerdekaan.
Pernyataan Prabowo sangat kontradiktif dengan garis politik luar negeri Indonesia sejak Presiden Soekarno. Bung Karno menolak keras partisipasi Israel dalam Asian Games IV (1962), sekaligus menjadi salah satu pemimpin dunia yang paling vokal membela Palestina di forum-forum internasional. Bahkan, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel sejak negara ini berdiri. Pilihan itu bukan sekadar gestur simbolik, melainkan penegasan bahwa Indonesia berdiri di sisi bangsa-bangsa tertindas.
Kini, ketika agresi Israel ke Gaza menyebabkan ribuan korban jiwa, termasuk anak-anak, Indonesia justru menyatakan kesiapan untuk mengakui negara penjajah tersebut. Ini adalah bentuk pembelokan sejarah. Bahkan bisa disebut sebagai pelecehan terhadap darah perjuangan bangsa-bangsa yang mempercayai Indonesia sebagai suara dunia ketiga.
Jangan Buat Rakyat Gagal Paham
Pernyataan Prabowo disampaikan dalam balutan bahasa yang tampak moderat dan netral: “Indonesia akan mengakui Israel jika Palestina diakui.” Namun ini adalah bentuk penyederhanaan yang menyesatkan. Sebab, Israel sejak lama menolak eksistensi negara Palestina, bahkan menolak batas wilayah yang ditetapkan oleh PBB dalam Resolusi 242 dan 338.
Yang dilakukan Israel bukan sekadar menolak perundingan, melainkan mencaplok wilayah Palestina, membangun permukiman ilegal, serta memberlakukan sistem apartheid terhadap penduduk Palestina di bawah kekuasaan militernya. Lalu, bagaimana mungkin Indonesia menggantungkan pengakuan Israel kepada janji yang sejak dulu tidak ditepati?
Alih-alih mengukuhkan posisi Indonesia sebagai penengah, pernyataan Presiden justru memperlemah posisi tawar diplomatik Indonesia dan membingungkan publik tentang arah sebenarnya dari prinsip politik luar negeri kita.
Indonesia bukan hanya sekadar negara berpenduduk mayoritas Muslim yang merasa bersaudara secara keimanan dengan Palestina. Solidaritas kita terhadap Palestina bukan sekadar simbol keagamaan, melainkan sebuah keberpihakan kepada prinsip universal: menentang penjajahan, menolak apartheid, dan menegakkan hak asasi manusia.
Pernyataan Presiden yang menyebut bahwa “Israel juga punya hak untuk hidup aman dan damai” tentu benar dalam kerangka universal. Namun mengucapkannya tanpa menekankan terlebih dahulu bahwa Israel adalah pihak agresor, justru membangun narasi yang setara antara penjajah dan yang dijajah. Ini adalah bentuk kekeliruan naratif yang fatal dalam forum diplomatik.
Jika Indonesia tidak tegas menyebut bahwa Palestina adalah korban penjajahan, maka pernyataan apa pun yang datang sesudahnya akan kehilangan moral dan nilai.
Presiden Prabowo harus menyadari bahwa politik luar negeri Indonesia bukan sepenuhnya hak prerogatif Presiden. Ia adalah amanat kolektif yang dijalankan berdasarkan konstitusi, sejarah bangsa, serta etika internasional.
Sebagai penutup pernyataan kesiapan mengakui Israel, walaupun bersyarat, adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip dasar negara. Jika pernyataan ini diteruskan menjadi kebijakan resmi, maka kita sedang membuka pintu pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur yang telah dibangun sejak kemerdekaan.
Rakyat Indonesia tidak memilih kepala negara untuk menukar prinsip dengan popularitas diplomatik. Kita tidak butuh pemimpin yang bersikap moderat terhadap penjajahan, tetapi yang tegas membela hak bangsa tertindas.
Sikap Indonesia seharusnya tetap sama: tidak akan mengakui Israel sampai Palestina benar-benar merdeka bukan hanya di atas kertas, tapi secara nyata, utuh, dan berdaulat. Segala bentuk “kompromi” yang membuka celah pengakuan terhadap negara penjajah harus ditolak keras.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.