News

Sosiolog: Privatisasi Ruang Publik Memicu Aksi Klithih

Puji Qomariyah. (foto : istimewa)

JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Sosiolog Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Puji Qomariyah, SSos, MSi mengatakan maraknya aksi klithih di Yogyakarta dipicu keterbasan ruang publik secara gratis. Saat ini banyak ruang publik yang dikuasai kapitalisme sehingga pelaku klithih yang sebagian besar anak muda tidak dapat berekpresi secara bebas dan gratis.

“Munculnya aksi klithih merupakan bentuk kekalahan masyarakat terhadap kapitalisme. Mengapa? Karena hampir seluruh ruang publik menjadi area privat, warga tidak memiliki ruang publik untuk berekspresi, semua area berbayar jika warga ingin mengaksesnya,” kata Puji Qomariyah.

Keterbatasan ruang publik, kata Wakil Rektor III UWM, menyulitkan para kawula muda untuk mengekspresikan diri. Sebagai alternatif ruang berekspresi adalah jalan raya. Masalahnya di jalan umum itu terjadi interaksi antarberbagai kelompok kawula muda dan elemen masyarakat lainya yang memilik latar belakang berbeda dan beragam.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Andaikata ruang publik yang bebas diakses tersebar di banyak tempat, maka para kawula muda bisa leluasa mengekspresikan diri secara beradab di dalamnya," kata Puji Qomariyah.

Masyarakat, khususnya kawula muda yang kehilangan ruang publik membuat agresif. Mereka tidak bisa menyalurkan bakatnya. "Ini menjadi tanda tentang kekalahan masyarakat terhadap kapitalisasi ruang publik. Bentuk kekalahan masyarakat terlihat pada ketidakmampuannya mempertahankan atau menyisakan ruang terbuka untuk ruang berekspresi bagi generasi muda,” terangnya.

Puji Qomariyah yang juga mahasiswa doktoral program studi budaya di Pascasarjana Universitas Sanata Dharma (USD) ini menambahkan ketika warga kehilangan ruang publik, kecenderungan mereka akan melakukan aksi sporadis, di berbagai tempat, dan berperilaku agresif. Sedangkan respon warga atas perilaku agresif tersebut sangat terbatas.

Sebagai solusi, kata Qomariyah, pemerintah daerah harus menyediakan banyak ruang publik, yang memungkinkan para kawula muda mengakses secara gratis. “Kehadiran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk memainkan peran yang signifikan dalam mengatasi klithih dan pendekaan apa yang perlu diterapkan,” tambahnya.

Pemerintah daerah perlu menyedikan fasilitas ruang publik yang bebas akses. Langkah demikian sebagai perlawanan dan antitesa terhadap kapitalisasi ruang sekaligus menghadirkan ruang untuk publik.

“Karakteristik lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Semakin kapitalis suatu lingkungan, maka semakin materialistis dan individulistis warganya, bahkan menjadi egoistis. Dari lingkungan egoistis dan tidak memiliki ruang publik klithih semakin leluasa muncur dan melakukan aksi tidak menusiawi," tandasnya.

Aksi klithih di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2017 sebanyak 51 kasus yang dilakukan remaja berusia 14 - 18 tahun. Tahun 2018 mengalami penurunan menjadi 45 kasus, tahun 2019 sebanyak 44 kasus, tahun 2020 menjadi 6 kasus karena ada pandemi Covid-19. Sedang tahun 2021 meningkat lagi menjadi 37 kasus.

Tahun 2022, aksi klithih terjadi di wilayah Kalurahan Banguntapan, Jalan Gedongkuning, Ahad (3/4/2022) dini hari. Korban seorang pelajar meninggal dunia akibat diserang para pelaku. (*)

Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].

Berita Terkait

Image

Indikator Kemiskinan PBB tak Cocok Bagi Yogyakarta

Image

Rektor UWM : SDM dan Infrastruktur Kampus Kunci Akselerasi Universitas

Image

'Banyuraden Digital Valley' Jembatan Akademisi UWM dan Masyarakat

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image