Kepercayaan Publik terhadap Para Ahli Menurun, Mengapa?
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Membanjirnya informasi di kanal publik atau internet membuat kepercayaan publik terhadap para ahli mengalami penurunan. Peran ahli seakan sudah tergantikan oleh orang banyak, dengan beragam mekanisme.
Di kalangan kampus pun, mahasiswa yang mendapat banyak informasi dari kanal publik merasa sudah menyamai para dosen atau profesor yang sudah mendalami topik bahasan cukup lama. Selain itu, ditambah adanya pendekatan korporatisasi kampus yang melihat pendidikan sebagai komoditas dan menempatkan mahasiswa sebagai konsumen, dan bukan sebagai pembelajar.
"Banyak implikasi sosiologis atas perspektif ini. Ketika mahasiswa dianggap sebagai konsumen, mereka akan memerankan diri dengan cara berbeda ketika berhadapan dengan kampus. Pola pikir transksional pun wajar jika mengemuka," kata Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD.
BACA JUGA : Rektor UII Harapkan IISMA tak Hanya Mobilisasi Mahasiswa
Berbeda jika mahasiswa menjadi aspiran dalam proses pembelajaran. Dosen atau profesor akan dilihat dengan kacamata berbeda dan terlepas dari jerat transaksional.
Fathul Wahid mengemukakan hal itu ketika menerima Surat Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi tentang Kenaikan Jabatan Akademik Profesor dalam Bidang Ilmu Hukum kepada Prof Dr Muhamad Syamsudin, SH, MH, Kamis (31//3/2022). Prof M Syamsudin menjadi prosfesor kedelapan di Fakultas Hukum, dan ke-25 UII.
Pendapat tersebut dikemukakan Fathul berdasarkan buku berjudul The Death of Expertise atau Matinya Kepakaran yang ditulis Tom Nichols dan diterbitkan xford University Press 2017. "Meskipun didasarkan pada kasus di Amerika Serikat, tetapi topik yang dibahas sangat relevan untuk konteks lain, termasuk Indonesia," kata Fathul.
Mengutip pendapat Fareed Zakaria dalam bukunya Ten Lessons for a Post-pandemic World tahun 2020, para ahli Amerika Serikat, Ingris dan Brasil serta beberapa negara lain tentang pandemi Covid-19 tidak dianggap penting sebagai dasar pengambilan kebijakan pemerintah. Sedang di negara seperti Jerman dan Taiwan, kebijakan pemerintahnya dengan tegas berkiblat pada sains. "Mereka mendengarkan saran para ahli dengan serius dan menerjemahkannya menjadi kebijakan nasional yang konsisten," tandas Fathul.
Saran Bagi Para Ahli
Nichols, kata Fathul, memberikan beberapa saran kepada para ahli agar lebih rendah hati. Para ahli seharusnya tidak berlagak elitis dan tercerabut dari konteksnya berpijak.
"Selain itu, para ahli juga diharapkan memperkaya variasi sumber informasinya, supaya tidak terjebak di kamar gema (echo chamber) yang menjadikan narasi seakan tunggal tanpa bandingan," kata Fathul.
Para ahli juga wajib memeriksa dengan cermat validitas informasi. Bila kurang cermat, para ahli sangat mungkin memunculkan pendapat akademik yang kurang tepat karena tanpa dukungan data yang cukup.
Di sisi lain, fenomena ini juga menantang para ahli untuk lebih sering melantangkan beragam pendapat intelektualnya dengan jujur dan yang relevan dengan kebutuhan publik. Sensitivitas intelektualisme perlu terus terus diasah.
"Namun di sini, jebakan lain bisa muncul, karena para ahli bisa terkooptasi oleh kuasa lainnya, termasuk kuasa uang dan kuasa politik (lihat misalnya Dhakidae, 2003). Jika ini terjadi, pendapat ahli dapat menjadi tumpul dan tidak lagi jujur, karena mengikuti pesan sponsor," tandasnya.
Berdasar kasus Amerika Serikat ketika melawan pandemi Covid-19, Zakaria mengemukakan bahwa khalayak, termasuk pemerintah, harus mendengarkan para ahli, dan para ahli juga harus mendengarkan khalayak. Semua perlu dilakukan dengan kejujuran. Pelajaran ini valid juga untuk konteks Indonesia dan banyak belahan bumi lain.
"Hanya dengan demikian, kehadiran para ahli menjadi bermakna dan pendapatnya menjadi bernas dan relevan, karena didasari pemahaman yang mendalam dan mutakhir atas konteks. Sangat jelas, para profesor adalah bagian dari para ahli ini," katanya. (*)
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].