Gelombang PHK Hantui Ekonomi Indonesia
Oleh : Abi Fadillah SE, MEc Dev *)
SEPANJANG tahun 2022 setidaknya ada puluhan perusahaan di Indonesia yang telah mengambil tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan. Tercatat, total karyawan yang di PHK mencapai 10.765 orang per September 2022. Bahkan, baru-baru ini perusahaan startup GoTo telah memangkas sekitar 1.300 karyawan. Lebih ironisnya, 16 pabrik di Jawa Barat telah menutup operasi produksi dan mengurangi pekerja hingga 79.000 orang.
Fenomena demikian banyak menuai kecaman dari berbagai pihak. Pasalnya, ekonomi nasional berada pada tren pertumbuhan yang terus membaik, akan tetapi badai PHK terus berlanjut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5.72 persen (y-o-y) per triwulan III 2022.
Pertumbuhan yang tinggi itu menyisakan banyak pertanyaan. Salah satunya, apakah pertumbuhan ekonomi itu berkualitas bagi kesejahteraan masyarakat banyak?
Secara nyata, kasus PHK telah memberikan bukti bahwa fundamental pada setiap sektor ekonomi masih rapuh pasca pandemi Covid-19. Semakin tinggi kasus PHK, maka semakin tinggi pula angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Tercatat, TPT nasional mencapai 5,86 persen atau 8,42 juta jiwa per Agustus 2022.
Seiring banyaknya PHK, diprediksikan angka TPT sangat berpotensi melonjak pada Februari 2023 mendatang. Selain mencuatnya kasus PHK, terdapat beberapa prediksi ancaman terhadap ekonomi Indonesia.
Pertama, jumlah kemiskinan akan semakin tinggi dan ketimpangan ekonomi berpotensi semakin melebar. Angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9.54 persen atau 26,16 juta jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan. TPT yang semakin besar berpotensi mendorong laju kemiskinan sehingga angka kemiskinan kembali ke double digit pada masa mendatang.
Secara tidak langsung mereka (yang menganggur) akan menurunkan laju konsumsi mereka terhadap sektor primer, sekunder, dan tersier. Belum lagi, kenaikan jumlah masyarakat miskin tersebut memberikan efek negatif terhadap Indeks Gini ketimpangan ekonomi. Rasio Gini Indonesia mencapai 0,384 per Maret 2022. Semakin tingginya kemiskinan jelas sekali memiliki dampak pada ketimpangan ekonomi di masa depan.
Kedua, pengangguran yang kian meningkat akan memberikan efek kepada daya beli masyarakat yang semakin melemah. Alhasil, konsumsi masyarakat menurun. Sektor konsumsi merupakan sektor fundamental bagi ekonomi Indonesia. Ketika pandemi Covid-19 sedang parah-parahnya di tahun 2020, sektor konsumsi negatif selama tiga triwulan berturut-turut, sehingga sangat memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan ekonomi.
Saat ini, sektor konsumsi tumbuh sekitar 5,39 persen (y-o-y) dan terkontraksi sebesar -0,30 persen (q-to-q) per triwulan III 2022. Secara tahunan sektor konsumsi tumbuh dengan kuat dibandingkan triwulan yang sama pada tahun 2021. Namun, secara triwulanan sektor konsumsi jatuh karena daya beli masyarakat menurun akibat isu kenaikan BBM beberapa bulan yang lalu.
Pada masa yang akan datang, tidak menutup kemungkinan sektor konsumsi akan kembali jatuh. Belum lagi efek PHK dapat memicu penurunan pada indeks penjualan ritel dan indeks keyakinan konsumen.
Ketiga, konsumsi yang semakin buruk membawa ancaman pada penerimaan pajak yang semakin rendah. Pemerintah sedang gencar-gencarnya mendorong penerimaan negara melalui kenaikan pajak dengan tujuan mengembalikan batas defisit anggaran di bawah tiga persen sesuai dengan UU No.17 Tahun 2003.
Sayangnya, sekitar puluhan ribu masyarakat harus menekan daya belinya, karena pendapatan mereka hilang akibat PHK. Bayangkan, jika puluhan ribu orang itu memiliki tingkat konsumsi yang tinggi, Indonesia telah kehilangan sepersekian persen dari kontribusi mereka terhadap pajak negara.
Langkah yang harus diambil pemerintah adalah mendorong anggaran perlindungan sosial. Artinya, pengeluaran negara akan meningkat untuk mensubsidi puluhan ribu orang yang di PHK. Hal itu berdampak pada APBN negara yang harus menanggung beban fiskal pada sektor perlindungan sosial.
Keempat, sektor fundamental yang semakin buruk memicu perlambatan ekonomi nasional pada tahun 2023. Jika tidak diantisipasi, kasus PHK memiliki potensi yang cukup besar untuk mengancam tren pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jumlah pengangguran yang meningkat berdampak pada penurunan aktivitias sektor riil dalam negeri, yang pada akhirnya menghantam 17 sektor lapangan usaha. Alhasil, Indonesia tidak mampu memperoleh PDB riil pada batas yang aman pada tahun 2023 nanti.
Menurut hemat penulis, PDB riil yang seharusnya diperoleh Indonesia di setiap triwulan 2023 adalah Rp 3.050 trilliun. Jika ditotalkan, maka Indonesia mengumpulkan sekitar Rp 12.200 trilliun untuk total PDB riil di tahun 2023. Dengan jumlah tersebut, setidaknya Indonesia berhasil mencapai pertumbuhan sebesar 5,00 persen pada tahun 2023.
Kelima, Indonesia bisa saja kembali menjadi negara yang memiliki pendapatan menengah ke bawah (lower-middle income countries). Misalnya, kasus pandemi berdampak pada PDB riil Indonesia yang jatuh dari US$ 1,120 trilliun (2019) ke angka US$ 1,060 trilliun (2020).
Jika di bagi dengan total penduduk Indonesia sebanyak 273,5 juta jiwa di tahun 2020, maka pendapatan per kapita sebesar US$ 3,875. Pendapatan per kapita itu menurun sekitar 6,4 persen dari tahun sebelumnya. Namun, seiring dengan perbaikan ekonomi, PDB per kapita bounceback ke angka US$ 4,291 di tahun 2021. Sehingga Indonesia tidak lagi masuk kelompok negara pendapatan menengah ke bawah.
Di tahun 2022, PDB Indonesia cukup kuat mencapai di atas US$ 1,190 trilliun, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah pada tahun 2023. Dengan maraknya isu resesi, perlambatan ekonomi global, serta kasus PHK yang semakin tinggi memunculkan pertanyaan. Apakah Indonesia mampu mencapai PDB per kapita hingga US$ 4,500 trilliun pada tahun 2023?
Jelas sekali, jika PHK tersebut berdampak secara luas terhadap ekonomi, PDB per kapita sulit dicapai. Hasilnya, Indonesia terjebak menjadi negara yang berpendapatan menengah ke bawah (lower-middle income trap).
Persoalan di atas merupakan ilustrasi umum dari tindakan PHK yang berpotensi pada ekonomi nasional di tahun 2023 mendatang. Meski ekonomi Indonesia sedang mengalami pertumbuhan yang baik, namun sayang pertumbuhan itu tidak mencerminkan peningkatan kesejahteraan rakyat. Padahal seharusnya pertumbuhan bersifat inklusif dan berkeadilan.
Sehingga paradigma pertumbuhan ekonomi tinggi yang selalu dikejar pemerintah Indonesia cenderung dipertanyakan. Apakah pertumbuhan terdistribusi secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia? Atau pertumbuhan ekonomi itu hanya dinikmati oleh segelintir orang saja? @@@
Penulis :
*) Alumnus Program Studi Magister Ekonomika Pembangunan, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (S2 MEP FEB UGM)
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].