Krisis Pangan dan Kemandirian Pangan
Oleh : Dr Sobirin Malian *)
SEKJEN PBB memperingatkan kemanusiaan menghadapi ancaman perfect storm (badai sempurna), yakni krisis ketimpangan antara negara-negara utara dan selatan. Perpecahan akibat ketimpangan ini tak hanya tak dapat diterima secara moral namun juga memicu konflik perdamaian dan keamanan dunia (Guardian, 5 Juli 2022).
Sekjen PBB, Antonio Guterres, menyebutkan krisis pangan, energi, dan keuangan global yang dipicu oleh perang di Ukraina telah menghantam negara-negara yang sudah kepayahan diterpa pandemi dan krisis iklim. Kini krisis ini membalikkan apa yang telah menjadi pertemuan antara negara maju dan berkembang.
“Ketidaksetaraan masih tumbuh di dalam negara, tetapi sekarang tumbuh dengan cara yang tidak dapat diterima secara moral antara utara dan selatan dan ini menciptakan perpecahan yang bisa sangat berbahaya dari sudut pandang perdamaian dan keamanan,” ucap dia seperti dikutip dari Guardian.
Guterres, yang berbicara kepada Guardian pada konferensi laut PBB di kota kelahirannya Lisbon, Portugal, mengatakan kekhawatiran terbesar adalah bagaimana masalah global memperlebar kesenjangan antara kaya dan miskin.
“Hal yang mengkhawatirkan adalah kita hidup dalam badai yang sempurna. Karena semua krisis berkontribusi pada peningkatan dramatis dalam ketidaksetaraan di dunia dan kemerosotan serius dalam kondisi kehidupan populasi yang paling rentan,” jelasnya.
Seluruh krisis meningkatkan situasi dunia yang tampak seperti menyatu pada perbedaan antara negara berkembang dan negara maju. Juga ketidaksetaraan tumbuh di negara-negara utara dan selatan. Menurut Guterres dunia kembali pada divergensi.
Kepala Program Pangan Dunia PBB ini memperingatkan lusinan negara yang bergantung pada gandum dari Rusia dan Ukraina berisiko melakukan protes, kerusuhan, dan kekerasan politik saat harga pangan global melonjak. Guterres mengungkapkan dari semua krisis yang dihadapi dunia, krisis iklim adalah yang paling vital.
“Itulah mengapa sangat memprihatinkan bahwa perang di Ukraina sebagian besar harus menjauhkan fokus pada aksi iklim. Kita perlu melakukan segala yang kita bisa untuk membawa kembali isu iklim sebagai isu terpenting dalam agenda kolektif kita. Lebih dari planet ini, spesies manusialah yang juga berisiko.”
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperingatkan krisis pangan adalah peringatan yang nyata. Kondisi ini akan berdampak terhadap belasan juta orang bakal kelaparan. “Hati-hati dengan masalah ini. Jika kita tidak mandiri pangan akan membahayakan negara kita sendiri,” ujar Presiden Jokowi dalam sambutan peringatan HUT ke 50 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Jumat (10/6/2022) lalu.
Kata Presiden, banyak negara yang kini mulai membatasi ekspor. Sebanyak 22 negara telah memutuskan menyetop ekspor pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Untuk itu, Jokowi mengajak para pengusaha yang tergabung di Hipmi untuk bergelut dalam bisnis pangan.
Konstitusi dan Kesejahteraan
Kegiatan ekonomi hakikatnya merupakan basis kehidupan rakyat yang dapat menentukan struktur sosial, politik dan budaya. Dalam sebuah negara, ketika satu basis kehidupan sudah dibentuk maka konsekuensinya seluruh struktur di atasnya harus mengikuti basisnya.
Basis ekonomi Indonesia adalah kebangsaan, kerakyatan, kemerdekaan dan demokrasi. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Soekarno-Hatta telah menggagas ekonomi kerakyatan melalui pemikirannya pada tahun 1930-an dengan istilah Ekonomi Ra’jat yang lahir dari keprihatinan atas kebijakan ekonomi masa penjajahan yang tidak berpusat pada kepentingan rakyat sebagai bentuk perlawanan ekonomi kolonialisme (Sri Edi Swasono, 2014:89).
Pemikiran Ekonomi Ra’jat Muhammad Hatta, didasarkan atas semangat kolektivisme (kebersamaan) dalam masyarakat Indonesia. Menurut Hatta, demokrasi ekonomi Indonesia terbangun dari desa-desa yang ada di Indonesia,mengandung 3 unsur yaitu: musyawarah, kemerdekaan berpendapat, dan tolong menolong.
Pada perkembangannya setelah Indonesia merdeka, lahirlah sistem ekonomi kerakyatan dalam menjalankan amanat konstitusi pada UUD 1945 Pasal 33 demi tercapainya kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Bung Hatta mempunyai pandangan tersendiri terkait dengan sistem ekonomi yang dianut oleh Indonesia yakni sosialisme-religius sebagai sosialisme ala Indonesia yang merupakan bagian integral dari Pancasila.
Substansi dari amanat UUD 1995 Pasal 33 menghendaki ekonomi kerakyatan sebagai ekonomi berbasis rakyat (people-based economy) dan berpusat pada kepentingan rakyat (people-centered economy). Hal ini diperkuat dengan gagasan ekonomi yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 maupun Pasal 33 UUD 1945 pasca reformasi.
Di mana dalam hal ini dijelaskan bahwa UUD 1945 mengandung gagasan demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi. Hal ini memiliki arti bahwa pemegang kekuasaan tertinggi Negara Indonesia adalah rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Oleh karena itu, seluruh sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang berdaulat. Sehingga dalam penjewantahannya kesejahteraan dan kemakmuran bersama adalah tujuan dan impian demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.
Berbagai fenomena di belahan dunia menunjukkan bahwa mayoritas negara-negara yang telah meraih kemerdekaan mengadopsi pembangunan ekonomi model pertumbuhan ekonomi pasca kemerdekaan berlangsung dengan tujuan untuk membangun ekonomi pasca penjajahan berakhir. Model pertumbuhan ekonomi yang digagas merupakan produk kaum kolonial yang berusaha menghegemoni kembali negara merdeka melalui sektor ekonomi dengan cara memasarkan ideologi kapitalisme dan neoliberalisme.
Hal tersebut tidak terkecuali Indonesia. Pada tahun 1967 Pemerintah Republik Indonesia meresmikan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) untuk melegitimasi kekuatan ekonomi kapitalis di Indonesia. Sebagai konsekuensi dari penetapan UU PMA 67 tersebut, bahwa Indonesia telah mengadopsi model pertumbuhan ekonomi yang disokong ekonomi kapitalisme yang sebetulnya belum tentu cocok untuk diaplikasikan di dalam negeri.
Kondisi setelah tahun 1967 sampai saat ini merupakan kenyataan pahit yang harus diterima Bangsa Indonesia. Di mana persepsi, sikap, dan perilakunya harus mengikuti kaum kapitalis dengan kapital sebagai basis (fondasi) kehidupan. Dengan demikian bangsa Indonesia mau tidak mau dipaksa untuk hidup sebagai buruh di negeri sendiri dengan mengharapkan belas kasih kaum kapitalis.
Di sisi lain, Indonesia telah merelakan diri untuk dihegemoni oleh kapitalis dengan menyerahkan sumberdaya alam kepada kapitalis. Hal ini menjadikan rakyat Indonesia sebagai buruh (tenaga kerja) dengan sistem upah murah dan menjadikan Negara Indonesia sebagai pasar komoditas hasil produksi kaum kapitalis.
Sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah. Mereka hanya mempunyai tenaga dan alat produksi sederhana yang jauh dari ungkapan sejahtera yang digaungkan melalui pertumbuhan konomi versi kapitalisme dan neoliberalisme.
Kesadaran bangsa atas kondisi tersebut amatlah dibutuhkan demi mewujudkan kembali kesejahteraan yang didambakan sesuai amanat kemerdekaan Republik Indonesia dengan kembali kepada sistem ekonomi yang berorientasi pada rakyat sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia, yakni Ekonomi Kerakyatan.
Sistem Ekonomi Pancasila: Ekonomi Kerakyatan
Sistem ekonomi dapat diartikan sebagai keseluruhan pranata ekonomi yang terintegrasi dalam kehidupan masyarakat dan dijadikan acuan hidup oleh masyarakat dalam mencapai tujuan ekonomi yang telah ditetapkan (Mubyarto dkk,2014:111).
Dalam suatu sistem ekonomi menghendaki berdirinya unsur-unsur manusia sebagai subjek; barang-barang ekonomi sebagai objek; serta seperangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalankan kegiatan ekonomi. Komponen utama yang harus ada dalam sistem ekonomi yaitu peran ekonomi yang merupakan organisasi ekonomi secara formal maupun informal yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam melakukan kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam mencapai suatu tujuan ekonomi tertentu.
Dalam praktiknya, setiap tatanan masyarakat akan memiliki suatu sistem ekonomi yang dianut sebagai acuan dasar dalam mengatasi beberapa hal pokok dalam pemenuhan ekonomi. Sistem ekonomi akan dapat menjawab permasalahan ekonomi seperti barang apa yang harus dihasilkan oleh masyarakat, bagaimana cara menghasilkan barang tersebut dan bagaimana cara mendistribusikan barang tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Penentuan sistem ekonomi yang dianut suatu negara tidak lepas dari ideologi negara. Ideologi negara ini tentu telah mendarah daging sebagai ideologi bangsa yang digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan dari sudut pandang tertentu.
Pengamalan sistem ekonomi yang telah dianut suatu negara tidaklah mudah. Karena ada beberapa aspek yang harus dipenuhi. Di antaranya, seperangkat peraturan, ideologi dasar, kebijakan, peraturan-peraturan dan tentunya keyakinan individu dan masyarakat yang menjalankannya.
Dalam pengamalan sistem ekonomi suatu negara dapat dipengaruhi beberapa faktor. Di antaranya, ideologi dan falsafah yang dianut, akumulasi ilmu pengetahuan, nilai moral dan adat kebiasaan, karakeristik demografi, nilai estetik (norma) dan kebudayaan, sistem hokum dan sistem politik dalam suatu negara ataupun bangsa.
Sistem ekonomi yang dianut Republik Indonesia adalah ekonomi kerakyatan yang memiliki asas dasar kekeluargaan, kedaulatan rakyat, moral Pancasila, dan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat (Mubyarto dkk,2014:9). Ekonomi kerakyatan atau sering disebut demokrasi ekonomi juga dapat diartikan sebagai sistem ekonomi nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, produksi dikerjakan oleh semua elemen masyarakat, untuk semua elemen masyarakat dan di bawah pimpinan atau pemiilikan anggota-anggota masyarakat dengan harapan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat (rakyat) dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian.
Dengan kata lain, ekonomi kerakyatan berkesinambungan dengan gagasan demokrasi ekonomi yang tidak lain ialah paham kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Ekonomi harus bermuara dari rakyat, untuk rakyat dan mengedepankan demokrasi ekonomi tanpa memberikan prioritas dan fasilitas pada kelompok atau golongan tertentu.
Singkatnya, ekonomi kerakyatan memfokuskan pada kebijakan pro rakyat dan pengelolaan perekonomian nasional di tangan rakyat. Hal tersebut didasarkan pada pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan mengikis kesenjangan ekonomi, ekspoitasi dan ketargantungan, melalui partisipasi rakyat dalam roda perekonomian sehingga tercapai suatu kondisi masyarakat yang berkeadilan atau masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Ekonomi rakyat dalam konsepsi ilmu ekonomi merupakan sebagai suatu kesatuan besar antar individu pelaku ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalan, penggunaan teknologi produksi yang sederhana, manajemen usaha belum tersistem dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Hal tersebut dibuktikan dengan dominasi kelompok usaha sesuai dengan karakter tersebut di Indonesia yang tumbuh secara natural dengan segala potensi di sekelilingnya.
Ekonomi rakyat tentunya berbeda dengan kelompok pemodal besar yang sering disebut konglomerat. Konglomerat mempunyai modal besar, akses pasar yang luas, menguasai usaha hulu ke hilir, pengunaan menajemen usaha dan teknologi produksi modern.
Sistem Ekonomi kerakyatan bukan sesuatu konsep yang baru berdiri, melainkan sebuah konsep ekonomi lama yakni konsep ekonomi Pancasila. Namun ekonomi kerakyatan lebih menekankan pada Sila Keempat yakni 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan.'
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dinamakan ekonomi kerakyatan yaitu suatu kondisi perekonomian di mana berbagai kegiatan ekonomi diselenggarakan dengan melibatkan partisipasi semua anggota masyarakat (rakyat). Selain itu penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ekonomipun berada di bawah pengendalian dan pengawasan anggota-anggota masyarakat (rakyat). Bila dikaitkan dengan bunyi Pasal 33 UUD 1945, maka situasi dan kondisi perekonomian seperti itulah yang disebut sebagai perekonomian usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Sistem ekonomi kerakyatan mengacu pada nilai-nilai Pancasila sebagai sistem nilai bangsa Indonesia dengan cita-cita luhur untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi, dan keadilan sosial.
Tujuan utama dalam penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian.
Apabila tujuan utama ekonomi kerakyatan itu dijabarkan lebih lanjut, maka sasaran pokok ekonomi kerakyatan secara garis besar meliputi lima hal yaitu ketersediaan peluang kerja, sistem jaminan sosial, kepemilikan modal merata, pendidikan nasional, dan jaminan kemerdekaan setiap warga.
Kesejahteraan Rakyat dan Ekonomi Kerakyatan
Permasalahan yang masih dihadapi rakyat Indonesia tidak lain yaitu distibusi pendapatan yang lemah sehingga kesejahteraan hanya akan dinikmati oleh segelintir orang. Tentunya hal tersebut jauh dari kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita luhur yang didambakan oleh segenap bangsa Indonesia yang dapat diukur melalui beberapa kriteria yang di antaranya: status gizi, status kesehatan yang terlihat dari angka harapan hidup, status pendidikan, pekerjaaan, prevalensi kejadian penyakit dan sebagainya yang dapat diukur secara kuantitatif.
Berbeda dengan tolok ukur kesejahteraan versi Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia, yang menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan dipengaruhi oleh beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran antara lain: Pertama, tingkat pendapatan keluarga. Kedua, tingkat pengeluaran rumah tangga. Ketiga, tingkat pendidikan keluarga. Keempat, tingkat kesejahteraan keluarga dan kelima, fasilitas perumahan dalam rumah tangga.
Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa tolok ukur kesejahteraan secara umum akan terwujud jika terpenuhinya kebutuhan dasar atau pokok hidup. Dalam konteks bernegara, dikenal istilah welfare state (negara kesejahteraan) di mana negara bertangung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, negara memberikan jaminan sosial dan ekonomi bagi rakyatnya.
Kemandirian Pangan
Sebagai kebutuhan dasar, pangan selalu menempati prioritas yang tinggi dalam pembangunan ekonomi nasional. Pentingnya peran pangan telah disampaikan dan diingatkan oleh Presiden RI pertama, Ir Soekarno yang mengemukakan bahwa persoalan pangan menyangkut mati hidupnya suatu bangsa. Meskipun disampaikan beberapa puluh tahun yang lalu, namun persoalan pangan masih tetap relevan hingga kini dan terus menjadi prioritas pembangunan nasional.
Fakta sejarah telah membuktikan bahwa permasalahan pangan adalah sekaligus menjadi problem sosial, budaya, ekonomi dan politik. Terlebih lagi terdapat kenyataan bahwa negara-negara maju dan besar di dunia ternyata adalah produsen utama pangan dan penentu pasar pangan dunia.
Komitmen nasional dan dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan didasarkan atas peran strategis perwujudan ketahanan pangan dalam : (i) memenuhi salah satu hak azasi manusia; (ii) membangun kualitas sumber daya manusia; dan (iii) membangun pilar bagi ketahanan nasional.
Peran memenuhi salah satu hak azasi manusia dinyatakan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, bahwa hak setiap orang untuk memperoleh pangan yang aman dan bergizi sama prinsipnya dengan hak memperoleh pangan yang cukup dan hak azasi manusia untuk bebas dari kelaparan. Pangan yang cukup dan berkualitas merupakan prasyarat bagi perkembangan organ-organ fisik manusia sejak dari kandungan, yang juga berpengaruh pada perkembangan intelegensianya secara optimal sesuai potensi genetiknya.
Generasi yang mempunyai kondisi fisik yang tangguh dan intelegensia yang tinggi, sangat diperlukan untuk melaksanakan pembangunan dalam era persaingan yang sangat ketat. Generasi demikian memerlukan masukan nutrisi makro dan mikro yang cukup dalam proses pembentukan fisik maupun rohaninya.
Selanjutnya, ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal ini dipandang strategis karena tidak satupun negara dapat membangun perekonomiannya tanpa terlebih dahulu menyelesaikan pangannya.
Khusus bagi Indonesia, sektor pangan adalah sekaligus sektor penentu tingkat kesejahteraan sebagian besar penduduk yang bekerja di on-farm yang terdapat di perdesaan. Mereka terdiri dari petani berlahan sempit dan buruh tani yang sebagian besar adalah rakyat miskin. Tidak kalah pentingnya pangan juga menentukan kesejahteraan konsumen miskin perkotaan yang sebagian besar porsi pendapatannya digunakan untuk konsumsi.
Memperhatikan hal-hal tersebut, kemandirian pangan merupakan syarat mutlak bagi ketahanan nasional. Salah satu langkah strategis untuk memelihara ketahanan nasional adalah melalui upaya mewujudkan kemandirian pangan. Secara konsepsional kemandirian adalah suatu kondisi di mana tidak terdapat soal pangan.
Tulisan ini menganalisa situasi terkini mengenai kemandirian pangan Indonesia dalam gejolak meroketnya harga pangan dunia yang dipicu oleh kenaikan harga minyak bumi, penurunan produksi bahan pangan di beberapa negara penghasil pangan akibat perubahan iklim serta adanya peningkatan permintaan pangan dari negara negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mempunyai jumlah penduduk yang besar.
Politik Hukum Kemandirian Pangan
Politik hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum. Satjipto Rahardjo mengemukakan beberapa pertanyaan mendasar mengenai studi politik hukum, yaitu (1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah melalui cara-cara bagaimana perubahan itu dilakukan; (4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang bisa membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.
Satjipto Rahardjo memberikan pengertian politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
Sedang Moh. Mahfud MD mengemukakan hukum tidak steril dari sub sistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerap kali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif.
Politik hukum, secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah.; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.
Ketahanan Pangan Nasional
Kebutuhan pangan nasional terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sehingga mengaharuskan produksi pertanian untuk terus ditingkatkan. Berbagai upaya terus dilakukan termasuk kebijakan ketahanan pangan berbasis sumber daya lokal. Secara normatif, untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan sumber utama pasokan pangan harus dapat diproduksi sendiri hingga ke tingkat rumah tangga.
Sementara itu, sektor pertanian sebagai tumpuan utama dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional kini kondisinya semakin terpuruk. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah penduduk yang berarti pula semakin meningkatnya jumlah kebutuhan pangan nasional, sedangkan sektor pertanian semakin terpuruk sebagai akibat semakin rendahnya daya dukung lingkungan.
Oleh karena itu, paradigma pembangunan pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional lebih dititikberatkan pada pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan lebih memusatkan pada keanekaragaman sumber pangan.
Selain persoalan jumlah penduduk yang semakin meningkat, persoalan kecukupan pangan dalam rangka ketahanan pangan nasional salah satu di antaranya adalah semakin berkurangnya lahan pertanian karena alih fungsi, menjadi daerah perindustrian, perumahan, dan kebutuhan lahan lainnya. Salah satu alternatif solusinya adalah pengembangan wanatani.
Dalam wanatani, hutan dikelola untuk kegiatan pertanian oleh masyarakat atau petani di sekitar hutan tanpa merusak fungsi hutan, bahkan kegiatan produktif ini diharapkan juga meningkatkan kelestarian hutan. Dengan demikian, hutan dengan wanataninya akan membuka peluang terwujudnya kedaulatan pangan berbasis utama pada kearifan lokal dan sumber daya lokal.
Selain program wanatani, persoalan produksi pangan karena berkurangnya lahan juga dapat diatasi dengan penggunaan bibit-bibit unggul dengan produktivitas tinggi. Namun demikian, dalam penerapan budidaya petani masih mengalami masalah teknis berupa ketersediaan bibit unggul yang tidak tepat waktu. Di sini terlihat, bahwa kegiatan pemuliaan tanaman untuk menghasilkan bibit unggul mempunyai peran penting dalam rangka ketahanan pangan nasional.
Politik Hukum Undang-undang Pangan
Politik hukum ketahanan pangan nasional dapat dicermati dari konsideran Undang-undang Pangan, yang mengarahkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam , dan tersedia secara cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pangan sebagai komoditas dagang memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta turut berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.
Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Adapun system pangan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
Sementara itu, keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Salah satu kata kunci dalam ketahanan pangan nasional adalah produksi pangan yang merupakan kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan atau mengubah bentuk pangan.
Untuk mencapai ketahanan pangan, sektor pengangkutan pangan merupakan setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan pangan dari satu tempat ke tempat lain dengan cara atau sarana angkutan apa pun dalam rangka produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Pengangkutan pangan yang baik, akan menjamin peredaran pangan sampai pada wilayah-wilayah Indonesia yang mengalami kekurangan pangan.
Peredaran pangan merupakan setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran pangan kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak. Sedangkan perdagangan pangan merupakan setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan atau pembelian pangan, termasuk penawaran untuk menjual pangan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan pangan dengan memperoleh imbalan ketahanan pangan nasional mengarah pada kondisi masyarakat memperoleh mutu pangan yang baik, merupakan nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman.
Pada akhirnya, akan tercapai ketahanan pangan nasional yang merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Penutup
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi, ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari sub-sistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan dengan pengutamaan kebijakan swasembada pangan daripada kecukupan pangan. Kebijakan kecukupan pangan merupakan kebijakan jangka pendek, sehingga kebijakan pencapaian swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kemandirian bangsa.
Indonesia perlu berusaha semaksimal mungkin mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri, dalam waktu yang tidak terlalu lama (sekitar 10 tahun). Hal ini sepatutnya menjadi keputusan politik negara. Diperlukan upaya khusus untuk sampai pada keputusan politik ini. Ketahanan pangan harus menjadi keputusan politik pemerintah untuk memutus mata rantai impor hampir seluruh kebutuhan pangan kita seperti beras, jagung, dan kedelai.
Hal tersebut, berarti ke depan bangsa Indonesia harus mempunyai perencanaan yang matang dan langkah-langkah yang strategis dan konsisten untuk meningkatkan produksi pangan. Bahwa pemenuhan kebutuhan pangan tidak semata-mata berdasar pada selisih harga impor dan biaya produksi dalam negeri, yang mungkin saja menguntungkan dalam jangka pendek. Hal itu akan menciptakan ketergantungan yang pahit dalam jangka panjang, dan pada gilirannya mengancam ketahanan nasional. Karena itu, diperlukan usaha-usaha yang berkesinambungan dan konsisten untuk mendukung kemandirian pangan.
Mandiri dalam bidang pangan dalam arti kita mampu memproduksi sendiri produk-produk pertanian/pangan yang kita butuhkan dengan dukungan unsur-unsur pendukungnya (benih, pupuk, obat-obatan dan lain-lain) yang dapat kita sediakan sendiri. Selanjutnya menjadi negara eksportir pangan. Kemandirian di bidang pangan lebih dari sekedar swasembada, karena kemandirian di bidang pangan akan memberikan kontribusi pada meningkatnya kemandirian bangsa. Last but not least, komitmen harus diiringi implementasi, jika tidak semua akan berhenti ibarat macan kertas.
Untuk menciptakan kemandirian pangan dibutuhkan lahan pertanian yang memadahi termasuk ketercukupan air agar bisa menghasilkan pangan secara optimal. Bab berikut akan fokus pada lahan pertanian dan ketercukupan kebutuhan air bagi pertanian.
Daftar Pustaka
Anonymous, Program Kerja Pengembangan Kewaspadaan Pangan 2001-2004. Jakarta: Pusat Kewaspadaan Pangan. Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. 2001.
Barichello, Rick. Evaluating Government Policy for Food Security: Indonesia. Berlin: University of British Columbia. 2000.
Buku I : Prioritas Nasional. Lampiran Peraturan Presiden RI No. 5 tahun 2010 tentang RJMN 2010-2014. Jakarta : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2010.
Dewan Ketahanan Pangan. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014, Draft ke-3, Oktober 2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, 2009.
Hardinsyah, Dodik Briawan, Retnaningsih, Tin Herawati dan Retno Wijaya. Modul Ketahanan Pangan 03. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) Institut Pertanian Bogor dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan (PPKP) Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan. 2002.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas, 2011.
Kementerian Pertanian. Rencana strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Pertanian, 2010.
Latief, D., Atmarita, Minarto, Abas Basuni dan Robert Tilden. Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi.VII. Jakarta: Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia. 2000.
Napitupulu, Tom Edward Marasi. Pembangunan Pertanian dan Pengembangan Agroindustri. Wibowo, R. (Editor). Pertanian dan Pangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 2000.
Pokja Sistem Manajemen Nasional. Modul 4 Sub. B.S. Strategi Pembangunan Nasional 2010-2014 (Strabangnas). Lembaga Ketahanan Nasional RI Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLVII tahun 2012.
Saliem, Handewi Purwati. Manajemen ketahanan pangan era otonomi daerah dan perum bulog. Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2005.
Sukandar, Dadang., Dodik Briawan, Yayat Heryatno, Mewa Ariani dan Meilla Dwi Andestina. Kajian Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga: di Propinsi Jawa Tengah. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. 2001.
Wibowo, R. Penyediaan Pangan dan Permasalahannya. Wibowo, R. (Editor). Pertanian dan Pangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2000. (*)
*) Penulis : Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta,