Pakar UGM: Krisis Perbankan AS karena Dominan Danai Startup
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, MBA, PhD, menilai krisis perbankan di Amerika Serikat menjadi peringatan serius bagi pengelolaan perbankan di Indonesia. Bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank dan Silvergate Bank disebabkan terlalu dominan mendanai pinjaman ke perusahaan rintisan atau startup.
Karena itu, kata Eddy Junarsin, perbankan di dalam negeri harus selektif dalam memberikan pinjaman, baik ke perusahaan kecil maupun besar agar tidak terjadi gagal bayar. “Nampaknya bank yang bangkrut ini ingin mendapatkan return besar sehingga berani meminjamkan dana ke startup dalam jumlah besar. Karenanya bank harus berhati-hati, risiko kredit bisa terjadi dimanapun, baik perusahaan startup hingga perusahaan besar,” kata Eddy Junarsin di Yogyakarta, Senin (8/5/2023).
BACA JUGA : Indonesia Siap Menghadapi Resesi Ekonomi 2023, Ini Analisa Pakar Ekonomi UGM
Menurut Eddy, krisis perbankan Amerika Serikat saat ini tidak memberikan dampak langsung ke perbankan maupun kondisi ekonomi di Indonesia. “Dampak langsung tidak ada, tapi kita harus hati hati. Saya melihat belum ada dampak ke bank yang ada di Asia dan Indonesia tapi kita harus belajar dari peristiwa ini,” katanya.
Menurutnya krisis di sebuah perbankan tidak hanya soal risiko gagal kredit saja. Tetapi krisis bisa ditimbulkan karena dampak isu sentimen negatif di pasar keuangan dan dampak kenaikan suku bunga acuan. “Dunia perbankan sebenarnya menghadapi banyak risiko dari risiko kredit yang mengalami gagal bayar dan isu yang buruk di pasar sehingga terjadi penarikan uang secara besar-besaran dan bank kekurangan likuiditas,” jelasnya
Soal dampak risiko kenaikan suku bunga, kenaikan suku bunga menurutnya mempengaruhi masuk dan keluarnya dana investasi di sebuah negara. Apalagi belakangan ini bank sentral Amerika kerap menaikkan suku bunga acuan bagi perbankan.”Kenaikan suku bunga tentu tidak menarik bagi dunia bisnis. Akan tetapi naik dan turunnya suku bunga dari The Fed jadi acuan bank sentral negara lain di seluruh dunia,” ujarnya.
BACA JUGA : Integrated Reporting Bakal Jadi Kewajiban Setiap Perusahaan, Mengapa?
Belajar dari pengalaman dari pengelolaan bank yang mengalami kebangkrutan ini, Eddy Junarsin menekankan penting bagi perbankan untuk mempraktikkan manajemen risiko perbankan dengan benar, konsisten dan disiplin. Menurutnya pengelola perbankan harus menerapkan manajemen risiko perbankan dengan baik dan benar. “Apabila perbankan tidak melakukannya dengan disiplin, maka risiko kredit, risiko kenaikan suku bunga dan risiko likuiditas, serta risiko pasar bisa berdampak pada risiko kecukupan modal,” paparnya.
Menurut Eddy, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Bank Indonesia (BI), OJK, Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan harus mampu mengawal stabilitas keuangan dan perekonomian nasional. Sehingga pengelola perbankan dapat menjalankan manajemen risiko dengan baik agar tidak terjadi krisis perbankan di Tanah Air.
Selain itu, tambah Eddy, komite ini juga harus mengawal angka inflasi dan nilai suku bunga jangan sampai memberatkan perbankan dan pelaku usaha. “Saat kondisi, misalnya, inflasi dan suku bunga tinggi. Ibarat kondisi badan lagi demam maka kita tidak bisa lari tapi hanya bisa bertahan. Bila kondisi ekonomi kita sehat atau indikator keduanya turun, maka ekonomi kita bisa berlari kencang kembali,” katanya. (*)
BACA JUGA : Abi Fadillah: Tak Perlu Khawatir Resesi Ekonomi 2023, Tetapi Tetap Waspada
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].