Abi Fadillah: Tak Perlu Khawatir Resesi Ekonomi 2023, Tetapi Tetap Waspada
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Pembelajar Ekonomi, Abi Fadillah, SE, MEc.Dev berpendapat resesi ekonomi 2023 merupakan isu elitis yang tidak perlu dikhawatirkan, namun masyarakat diharap tetap waspada. Sebab secara historis, ekonomi Indonesia dapat kembali tumbuh positif dan mencapai target pemerintah.
Abi Fadillah mengungkapkan hal tersebut untuk menyikapi isu akan adanya resesi ekonomi tahun 2023 dalam bincang-bincang dengan redaksi jurnal.republilka.co.id, Senin (21/11/2022). Prediksi resesi ekonomi tahun 2023 telah memicu perbincangan dan perdebatan panas di media massa dan mainstream dunia.
BACA JUGA : Eksklusivitas Konglomerat Ganjal Aktualisasi Kekuatan Lokal
Menurut Abi Fadillah, faktor-faktor pemicu terjadinya resesi itu adanya ketidakpastian ekonomi global. Di antaranya, dampak perang Rusia-Ukraina, inflasi barang dan jasa, tingginya suku bunga, serta depresiasi mata uang di beberapa negara berkembang.
"Potensi situasi demikian membuat pemerintah di berbagai negara belahan dunia cenderung khawatir dan memandang perekonomian global memberikan dampak negatif terhadap ekonomi domestik di negara mereka. Termasuk Indonesia. Bahkan Presiden Jokowi telah meminta masyarakat Indonesia harus ekstra hati-hati," kata Abi.
Dijelaskan Abi, berdasar mata kuliah penting yang ada pada bidang ilmu ekonomi yaitu Ekonomi Makro. Dalam mata kuliah ini dibahas siklus bisnis, yang terdiri dari empat fase yaitu pertumbuhan (growth), puncak (peak), resesi (recession), dan depresi (depression). Dari keempat fase tersebut, hanya fase depresi yang belum pernah dialami Indonesia.
Selanjutnya, Abi mencontohkan fluktuasi perekonomian nasional dari tahun 1987 hingga 2022. Awalnya, ekonomi berada pada fase pertumbuhan dari tahun 1987 hingga 8.2 persen di tahun 1995, yang mencapai titik puncak. Namun, ekonomi nasional bertahap mengalami fase menurun (decline) hingga akhirnya mengalami kebuntuan dan terjadi krisis ekonomi 1998.
BACA JUGA : Tips Hadapi Resesi 2023, Cari Penghasilan Tambahan dan Penghematan
Pemerintah berupaya untuk memperbaiki perekonomian dengan berbagai kebijakan. Upaya tersebut berhasil dan membuat ekonomi nasional bounceback pada pertumbuhan yang positif pasca krisis 1998. "Sayangnya, setelah beberapa dekade kemudian, ekonomi nasional kembali berfluktuasi hingga akhirnya menelan kemunduran perekonomian akibat pandemi Covid-19 tahun 2020," kata Abi.
Tahun tersebut merupakan tahun petaka bagi ekonomi Indonesia, pasalnya rata-rata pertumbuhan pada tahun 2020 hanya -2.1 persen. Di tahun tersebut pula ekonomi nasional harus mengalami resesi. Ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang dua kali negatif selama dua triwulan berturut-turut.
"Fenomena ini dinamakan siklus bisnis, merupakan kondisi yang di alami oleh semua negara dunia, termasuk Indonesia. Siklus bisnis terjadi akibat dari ketidakseimbangan atau guncangan faktor internal dan eksternal," katanya.
Prediksi resesi 2023, kata Abi, disebabkan faktor eksternal, yang membuat ekonomi negara berkembang terkena imbas dari perlambatan ekonomi global. Salah satu kasus yang dianggap menjadi ancaman bagi ekonomi nasional adalah kenaikan tingkat bunga bank sentral Amerika Serikat.
BACA JUGA : Kemenkop UKM Gandeng IBISMA UII Tingkatkan Jumlah Startup
Per November 2022, The Fed menaikkan tingkat bunga acuan sebesar 75 bps ke angka 4 persen. Kenaikan tersebut memicu aliran modal keluar (capital outflow) dan memberikan dampak depresiasi terhadap mata uang Rupiah terhadap Dollar.
Faktor lainnya, tambah Abi, kenaikan inflasi barang dan jasa di beberapa negara mitra dagang Indonesia. Kasus demikian dapat berpotensi terhadap kenaikan harga barang impor di Indonesia semakin tinggi.
Ketika harga barang impor semakin mahal, secara otomatis kontribusi sektor impor akan berkurang terhadap persentase bobot pertumbuhan ekonomi. Lebih ironisnya lagi, jika pertumbuhan dan produksi negara mitra dagang Indonesia menurun, maka jelas sekali akan menganggu aktivitas ekonomi nasional dari sisi penerimaan impor.
Kemudian, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 5.72 persen (y-o-y) per Triwulan III 2022. Secara tahunan, ekonomi nasional menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat menuju ke arah pemulihan.
Hal tersebut ditandai dengan semua sektor PDB lapangan usaha tumbuh positif, kecuali sektor jasa kesehatan yang masih negatif pada angka - 1.74 persen. Bahkan, seluruh leading sektor seperti industri, pertambangan, pertanian, perdagangan, dan konstruksi tumbuh pesat dengan distribusi hingga 66.18 persen dari total distribusi PDB lapangan usaha. Pada PDB sektor pengeluaran menunjukkan semua kenaikan sektor kecuali, konsumsi pemerintah yang negatif 2.88 persen.
BACA JUGA : Mahasiswa KKN UNY Latih Pengemasan Produk UMKM
Komponen tertinggi berasal dari ekspor dan impor yang tumbuh hingga di atas 20 persen, yang membuat neraca perdagangan Indonesia surplus hingga US$ 4.99 di triwulan III 2022. Sedangkan, ekonomi nasional juga mengalami pertumbuhan yang cukup baik secara triwulanan.
Hampir semua sektor PDB lapangan usaha tumbuh positif dan memberikan kontribusi pertumbuhan hingga 1.81 persen (q-to-q). Demikian juga dari sisi PDB sektor pengeluaran yang masing-masing tumbuh positif, kecuali sektor pengeluaran konsumsi rumah tangga yang negatif - 0.30 persen.
Sektor konsumsi yang tumbuh negatif disebabkan oleh lemahnya daya beli masyarakat akibat dari kenaikan harga BBM dan biaya bahan dasar pokok. Penurunan sektor konsumsi sangat sejalan dengan tingkat inflasi IHK Indonesia yang saat ini berkisar 5.71 persen.
"Semua kondisi ekonomi nasional di atas jelas sekali menggambarkan bahwa ekonomi nasional berada pada tahap pertumbuhan yang baik. Apakah mungkin dengan kondisi ekonomi yang baik itu dapat membuat ekonomi nasional resesi pada tahun 2023?" tanya Abi.
Jika dianalisa secara growth diagnosis, pemerintah seharusnya menargetkan pertumbuhan pada batas yang aman dan terkendali. Beberapa minggu lalu, International Monetary Fund (IMF) memprediksi ekonomi Indonesia mencapai pertumbuhan hingga 4.7 persen tahun 2023. Artinya, ekonomi nasional tetap tumbuh walaupun terkontraksi.
Kontraksi yang diperkirakan IMF ini berasal dari faktor global. Di antaranya, kenaikan tingkat bunga The Fed, depresiasi nilai tukar Rupiah, perang Rusia-Ukraina, dan inflasi harga barang dan jasa.
BACA JUGA : Mahasiswa KKN UNY Dorong Pelaku UMKM Miliki NIB
Sejalan dengan hal itu, pemerintah juga telah memprediksi ekonomi nasional melalui asumsi APBN 2023, yang menargetkan pertumbuhan hingga 5.3 persen (y-o-y). Target sebesar 5.3 persen mengharuskan Indonesia mencapai PDB harga konstan sekitar Rp 2.900 triliun s/d Rp 3.000 triliun untuk setiap triwulan pada tahun 2023.
Dari kisaran tersebut, Indonesia akan memperoleh total PDB harga konstan sekitar Rp 11.600 triliun untuk satu periode. Jumlah prediksi PDB harga konstan itu sama seperti PDB harga konstan yang telah dicapai oleh Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
Bayangkan, total PDB harga konstan Indonesia berkisar dari Rp 10.723 triliun hingga Rp 11.118 triliun, dari 2019 hingga 2021. "Statistik tersebut telah menggambarkan bahwa ekonomi nasional cukup berpotensi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Asalkan kinerja makro ekonomi dapat menyentuh fundamental ekonomi nasional dan tumbuh secara inklusif pada tahun depan," tandasnya. (*)
BACA JUGA : Perguruan Tinggi Bertanggung Jawab Mencetak Akuntan Etis
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].