Neoliberalisme Mengikis Peran Perguruan Tinggi sebagai Inkubasi Pemikiran Kritis
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc PhD menandaskan mazhab neoliberalisme telah mengikis peran perguruan tinggi sebagai tempat perkembangan pemikiran kritis dan menjauhkannya dari iklim demokrasi yang sehat. Mazhab ini hanya menekankan pada pendekatan yang didorong penuh ideologi pasar.
Prof Fathul Wahid mengemukakan hal tersebut pada penyerahan Surat Keputusan Jabatan Akademik Profesor Dr Ir Sugini, MT di Yogyakarta, Selasa (15/11/2022). Prof Sugini merupakan Guru Besar ke-28 yang lahir dari rahim UII. Saat ini proporsi dosen yang menjadi profesor di UII adalah 3,5% (28 dari 790 dosen). Prof Sugini merupakan profesor perempuan ke-4 di UII dan profesor perempuan pertama di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP).
BACA JUGA : Prof Rully Charitas Catat Rekor MURI, Guru Besar Termuda Indonesia
Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan kehadiran mazhab neoliberalisme membuat pendidikan direduksi menjadi pelatihan, nilai-nilai publik ditransformasikan menjadi nilai-nilai instrumental mentah. Selanjutnya, pendidikan publik dianggap sebagai sistem operasi, serta beranggapan pemecahan masalah hanya dapat dilakukan melalui kuantifikasi, program yang efektif, data numerik, dan hitungan-hitungan efisiensi semata.
Mazhab neoliberalisme, kata Fathul, menganggap masyarakat adalah fiksi, tata kelola harus didorong ideologi pasar, deregulasi, komodifikasi. Ketiganya merupakan kendaraan untuk kebebasan, kebutuhan masyarakat harus ditaruh di bawah kepentingan pribadi, budaya keuangan harus menjadi panglima semua kehidupan sosial. "Pendidikan tinggi harus melayani kebutuhan korporat daripada untuk kebaikan publik," kata Fathul.
Ujungnya, jelas Fathul, ukuran keberhasilan mewujud dalam bentuk keuntungan. "Keterlibatan publik dan ruang publik yang didedikasikan untuk kebaikan bersama akan dilihat sebagai hambatan menuju masyarakat yang dikendalikan oleh pasar atau alibi atas tata kelola yang tidak efisien," tandasnya.
BACA JUGA : Suparman, Satu-satunya Profesor Ilmu Matematika Terapan di LLDikti DIY
Untuk menghambat menyebarnya mazhab neoliberalisme dibutuhkan peran intelektual publik. Mereka dapat bergabung dengan publik dan kalangan muda untuk merespons masalah-masalah sosial, memberi bantuan gerakan dan organisasi lain yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan. "Kadang, intelektual publik juga bekerja sama dengan pemerintah untuk membangun dunia yang lebih adil dan demokratis," katanya.
Sementara Prof drh Aris Junaidi PhD, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengucapkan selamat kepada Prof Sugiri atas pencapaian Guru Besar, jabatan tertinggi akademik. LLDikti V selalu mendorong setiap perguruan tinggi di wilayahnya agar terus meningkatkan jumlah guru besar.
Saat ini, kata Aris Junaidi, secara nasional, jumlah guru besar masih sangat minim. Dari 4.600-an perguruan tinggi, dengan 285 ribu dosen yang memiliki gelar guru besar masih kurang dari dua persen. Sedang untuk LLDikti wilayah V, dengan jumlah 100 perguruan tinggi, dengan dosen 7.800 orang, guru besarnya sekitar 134 orang, kurang dari dua persen.
"Upaya LLDikti terus dilakukan termasuk pemberian Bimtek (Bimbingan Teknis) percepatan bagi para dosen yang sudah mendapatkan Lektor Kepala. Agar jumlah guru besar terus meningkat," kata Aris. (*)
BACA JUGA : Prof Budi Hartono: Kompetensi Manajer Proyek Tentukan Keberhasilan Startup
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].