80 Persen Tokoh Masyarakat Tolak Penambahan Masa Jabatan Lurah
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Sebanyak delapan dari 10 atau 80 persen tokoh masyarakat menolak penambahan masa jabatan kepala desa (Kades) atau Lurah dengan beragam alasan. Di antaranya, unsur keadilan Lurah saat ini belum baik, ada yang menganggap sembilan tahun terlalu lama dan membuat kerja menjadi lamban, sampai pendapat masa jabatan tidak terlalu penting melainkan performa kepemimpinannya yang menentukan.
Demikian hasil penelitian mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) di Kelurahan Girikerto, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ada empat mahasiswa UGM yang melakukan penelitian Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH).
BACA JUGA : Hasil Penelitian Mahasiswa UGM, Wong Tengger Terabaikan dalam Pembangunan TNBTS
Mereka adalah Rahma Kintara dan Jasmine Hasna (mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Politik/DPP, Fisipol), Rafi Manggala (mahasiswa Fakultas Hukum), dan Aqil Ersan (mahasiswa Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik/MKP Fisipol). Mereka berada di bawah bimbingan dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM, Devy Dian Cahyati, SIP, MA.
"Hanya dua dari sepuluh tokoh yang diwawancarai, mendukung wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa atau Lurah. Kedua tokoh tersebut berasal dari kalangan elite pemerintahan," kata Rahma Kintara, Ketua Tim PKM-RSH.
Sedang delapan tokoh masyarakat yang menolak memiliki alasan beragam. Ada yang menilai unsur keadilan lurah saat ini belum baik, ada yang menganggap sembilan tahun terlalu lama dan membuat kerja menjadi lamban, sampai pendapat bahwa masa jabatan tidak terlalu penting melainkan performa kepemimpinannya yang menentukan. “Harapannya temuan-temuan ini akan bisa bermanfaat sebagai dasar pembuatan kebijakan ke depan” kata Kintara.
BACA JUGA : Peneliti UGM Presentasikan Penelitian di Lindau Nobel Laureate Meeting 2023
Sebelum terjun ke lapangan, jelas Kintara, Tim PKM-RSH melakukan pemetaan wacana menggunakan dari 100 artikel berita yang mencakup 255 pernyataan dari 86 individu dan 18 organisasi di media massa nasional. Hasil pemetaannya menunjukkan bahwa wacana tersebut paling banyak diangkat oleh anggota DPR dengan frekuensi sebesar 60 pernyataan. Disusul kepala desa dengan frekuensi sebesar 39.
"Kedua aktor tersebut paling banyak terkoneksi dengan wacana menjaga stabilitas. Sedangkan wacana kedua paling besar berasal dari kelompok masyarakat sipil dan akademisi yang menolak perpanjangan masa jabatan Kades dengan argumentasi mencederai demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan perpanjangan masa jabatan Kades di tingkat nasional didominasi oleh kalangan elite pemerintahan,” kata Kintara.
BACA JUGA : Mahasiswa UGM Raih Penghargaan Indonesia Netherlands Thesis Prize 2023
Kintara menjelaskan timnya tertarik melakukan penelitian ini adanya persetujuan usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Usulan tersebut menuai pro dan kontra di masyarakat.
Usulan ini, kata Kintara, disuarakan melalui aksi demonstrasi pada 17 Januari 2023 di depan Gedung DPR RI. Ada tiga asosiasi pemerintah desa dengan alasan efektivitas kinerja Kades serta untuk mengurangi konflik pasca pemilihan.
Namun Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kasus korupsi di level desa konsisten menempati posisi tertinggi sejak 2015-2021. Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar. Perpanjangan masa jabatan Kades dinilai akan semakin membuka keran penyalahgunaan kekuasaan. (*)
BACA JUGA : Pakar UGM : Nyamuk Wolbachia Aman Bagi Manusia
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].