Prof Syamsudin, Guru Besar UII Mengajak Berhukum Profetik di Zaman Edan, Ini Penjelasanya

News  
Prof M Syamsudin saat menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar. (foto : screenshotyoutube/heri purwata)

JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Prof Dr M Syamsudin, SH, MH, Kamis (24/11/2022), dikukuhkan Senat Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum. Dalam pidato pengukuhan, Prof M Syamsudin mengangkat judul 'Berhukum Profetik di Tengah Kalatidha' yang dimaksudkan untuk memperteguh komitmen berbangsa dan bernegara yang akhir-akhir ini disinyalir mengalami permasalahan.

Prof Syamsudin menjelaskan istilah Kalatidha pertama kali digunakan Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) dalam karyanya tentang Serat Kalatidha yang terbit pada tahun 1861. Kata Kalatidha secara harfiah berarti zaman keraguan, zaman cacat, rusak, zaman yang penuh kegelisahan dan kekhawatiran, serta zaman tanpa kepastian. "Bahkan digambarkan secara sarkastik Kalatidha sebagai zaman edan atau gila," kata Syamsudin.

BACA JUGA : Perlindungan Korban Perkosaan Terabaikan, Hakim Hanya Jadi Corong UU

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Lebih lanjut Syamsudin mengatakan Serat Kalatidha berisi tentang kritik sosial profetik yang mendeskripsikan situasi sulit, kacau, banyak terjadi pelanggaran hukum, pelanggaran moral, kondisi masyarakat semakin rakus dan loba. Tetapi di sisi lain, Serat Kalatidha juga berisi filsafat dan ajaran kehidupan, yang menyiratkan unsur religius (transendensi).

Di dalam ajarannya, mengandung unsur-unsur: Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan menyebut Allah, Pangeran, dan Hyang Suksma; Percaya pada takdir dan wajib ikhtiar; Ajaran mawas diri; Ajaran waspada dan eling. "Jadi isi dari Serat Kalatidha mengandung muatan gambaran realitas sosial, kritik sosial, pendidikan moral, dan sekaligus falsafah hidup," kata Syamsudin.

Pemilihan diksi Kalatidha untuk mengungkapkan dua tujuan sekaligus. Pertama, dimaksudkan untuk menggambarkan, mengeneralisasikan dan mengabstaraksikan realitas sosial, budaya, politik dan hukum yang 'senyatanya; terjadi, sehingga mempunyai fungsi deskripsi (das sein).

Kedua, dimaksudkan untuk merefleksikan kondisi sosial, budaya, politik dan hukum yang 'seharusnya' terjadi, sehingga mempunyai fungsi preskripsi (das sollen). Jadi pembacaan Serat Kalatidha ini sangat tepat untuk menggambarkan dua dunia sekaligus yang berbeda, yaitu dunia nyata (deskriptif) dan dunia ideal (preskriptif).

BACA JUGA : Prof Rully Charitas Catat Rekor MURI, Guru Besar Termuda Indonesia

Sedang Ilmu Hukum Profetik (IHP) bertujuan untuk mewujudkan tiga nilai dasar (humanisasi, liberasi dan transendensi) secara berurutan dan utuh yang puncaknya, transendensi. "Ini berarti berhukum Profetik adalah aktivitas manusia untuk mengabdi dan mencari rida ilahi, Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi," katanya.

Dijelaskan Syamsudin istilah 'profetik' pertama-tama diintrodusir Muhammad Iqbal (1966) dan Roger Garaudy (1982). Muhammad Iqbal memperkenalkan istilah Etika Profetik, terinspirasi peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Menurut Iqbal, kata Syamsudin, seandainya Nabi Muhammad SAW itu seorang mistikus atau sufi, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi lagi, karena sudah merasa, nyaman, tenteram dan bahagia berada di sisi Allah SWT. Namun realitasnya Nabi Muhammad SAW justru kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial dan mengubah jalannya sejarah dan peradaban. "Nabi Muhammad SAW memulai suatu transformasi sosial budaya, berdasarkan cita-cita profetiknya (kenabiannya)," kata Syamsudin mengutip Iqbal.

BACA JUGA : KDRT Masih Dianggap Aib, Kasusnya tak Diproses Hukum

Kemudian, kata Syamsudin, Roger Garaudy, seorang filosuf Perancis yang muslim, memperkenalkan istilah Filsafat Profetik. Menurut Garaudy, Filsafat Barat tidak memuaskan sebab hanya terombang ambing antara dua kubu, yaitu idealisme dan materialisme, tanpa berkesudahan.

Untuk menghindari kehancuran peradaban manusia, Garaudy mengusulkan mengambil kembali warisan Islam. Filsafat Barat sudah membunuh Tuhan dan manusia. Karena itu, Garaudy menganjurkan supaya umat manusia memakai Filsafat Profetik (kenabian) dari Islam dengan mengakui wahyu sebagai

sumber pengetahuan manusia. "Jadi Filsafat Profetik menempatkan wahyu sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk kehidupan manusia agar tidak terjadi kehancuran peradaban," kata Syamsudin.

Selanjutnya, jelas Syamsudin, Kuntowijoyo memperkenalkan istilah Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP bertujuan tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, sebagaimana ilmu-ilmu sosial akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis pada umumnya. Tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana perubahan atau transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa perubahan itu dilakukan.

BACA JUGA : Hakim MK tidak Mewakili Kepentingan DPR RI

ISP tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. "ISP secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang didambakan oleh masyarakatnya. Sesuai cita-cita profetik sebagaimana diderivasi dari misi historis Islam dan terkandung dalam Alquran Surah Al-Imran (3) ayat 110," jelas Syamsudin.

Ilmu Hukum Profetik (IHP) sangat penting untuk dihadirkan, disajikan dan diwacanakan sebagai menu sajian keilmuan di tengah-tengah jagad para pecinta ilmu, khususnya Ilmu Hukum di zaman Kalatidha, di era Postmodern ini. Kehadirannya itu dimaksudkan sebagai upaya mencari (searching) dan menemukan (finding) secara terus menerus nilai-nilai kebenaran dan keadilan hukum (humanisasi/amar ma’ruf), pembebasan (liberasi/nahi munkar) dari cara berhukum yang materialis-sekular, jauh dari nilai-nilai ketuhanan (transendensi) yang terjadi saat ini, yang terbukti telah banyak merendahkan peradaban manusia atau dehumanisasi.

"Hukum Profetik baik secara praktis maupun teoretis merupakan bagian dari upaya pengejawantahan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila akan lebih kaya, kuat dan bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan pengembanan hukum profetik. Pengembanan hukum profetik akan memperteguh dan memperkuat komitmen berbangsa dan bernegara yang akhir-akhir ini disinyalir mengalami permasalahan," harap Syamsudin. (*)

BACA JUGA : Suparman, Satu-satunya Profesor Ilmu Matematika Terapan di LLDikti DIY

Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image