Perlindungan Korban Perkosaan Terabaikan, Hakim Hanya Jadi Corong UU
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Proses hukum tindak pidana kekerasan seksual dan pemerkosaan masih sebatas menghukum pelaku, sedang perlindungan terhadap korban terabaikan. Sebab masyarakat dan penegak hukum di Indonesia masih terbelenggu kekakuan normative prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Sehingga hakim hanya sekedar sebagai corong undang-undang (speekbuis ven de wet, bounce de la loi). Artinya, hakim belum memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif, sehingga keadilan substansial sulit diwujudkan.
BACA JUGA : UWM dan NIU Kerjasama Kembangkan Pendidikan untuk Semua
Dr Aida Dewi, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) mengemukakan hal tersebut pada Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-40 UWM di Kampus Terpadu Jalan Tata Bumi Selatan, Banyuraden, Gamping, Sleman. Peringatan Pancawindu UWM tersebut dibuka Ketua Senat/Rektor UWM, Prof Dr Edy Suandi Hamid, MEc, dihadiri Ketua Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah V DIY, Prof drh Aris Junaidi, PhD.
Lebih lanjut Aida Dewi mengatakan sikap hakim tersebut sebagai konsekuensi Indonesia menganut sistem hukum Civil Law yang mendasarkan bangunan sistem hukum pada undang-undang. Sehingga hakim hanya sebagai pelaksana undang-undang bukan pencipta undang-undang.
"Hakim Indonesia tidak dapat melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) melalui putusannya. Mereka tidak boleh menabrak isi dan falsafah peraturan perundang-undangan yang ada. Akibatnya, perlindungan terhadap korban kekerasaan seksual dan pemerkosaan hanya perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung," tegas Aida Dewi.
Seharusnya, menurut Aida Dewi, hakim dalam memutuskan dan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum perlu sikap memahami kepentingan korban. Dalam proses persidangan, dakwaan harus dibuktikan. Dakwaan berupa surat yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dari hasil pemeriksaan, penyidikan. Dakwaan akan menjadi landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
BACA JUGA : Rektor UWM Meminta Wisudawan Warisi Karakter HB IX
Aida menegaskan, proses peradilan kejahatan seksual hanya memproses pelaku tindak pidana pemerkosaan. Sedang korban yang mengalami luka psikomatis maupun moral tidak diberikan perlindungan dan jaminan masa depan yang lebih baik dari segi hukum, ekonomi, psikologi, dan lainnya.
Menurutnya, para penegak hukum perlu melakukan tindakan secara faktual agar dapat memberikan rasa aman, nyaman, perlindungan dan pemenuhan hak ekonomi korban kekerasan seksual. “Hakim perlu memberikan putusan untuk korban perkosaan berupa pembayaran ganti rugi atau bantuan ekonomi oleh pelaku kepada korban, meskipun hal tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab pidana pelaku,” kata Aida.
DPR, harap Aida, perlu membuat atau merevisi undang-undang tindak pidana pemerkosaan yang memberikan putusan terberat kepada pelaku dan memberikan perlindungan hukum kepada korban atas kerugian baik materiil maupun immaterial. “Hukuman pelaku pemerkosaan nilainya harus setara dengan kerugian yang didera korban agar hukuman benar-berimplikasi efek jera ke pelaku,” tandas Aida. (*)
BACA JUGA : KDRT Masih Dianggap Aib, Kasusnya tak Diproses Hukum
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].