Hakim MK tidak Mewakili Kepentingan DPR RI
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Argumentasi yang menyebutkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) harus mewakili kepentingan lembaga pengusul, dalam hal ini DPR RI, adalah argumentasi yang keliru bahkan sesat. MK bersifat independen, tidak ada hubungan dan bukan merupakan bagian dari DPR.
Demikian pernyataan sikap ahli hukum Yogyakarta yang tergabung dalam Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Program Studi Hukum Fakultas Hukum (PSHK) UII, Departemen Hukum Tata Negara (HTN) FH UII, Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan (PK2P) FH Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara - Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
BACA JUGA : KDRT Masih Dianggap Aib, Kasusnya tak Diproses Hukum
Karena itu, ahli hukum Yogyakarta mendesak agar DPR RI membatalkan pencopotan Hakim Mahkamah Konsitusi (MK), Prof Aswanto. Pencopotan tersebut disebabkan dalam beberapa putusannya, Aswanto menganulir undang-undang produk DPR di MK.
Pernyataan sikap tersebut dibacakan Eko Riyadi, SH, MH, Direktur Pusham UII kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis (6/10/2022). Pembacaan pernyataan sikap tersebut didampingi Prof Ni'matul Huda, SH, MHum, Ketua APHTN-HAN DIY, Allan Fatchan Gani Wardhana SH, MH, Direktur PSHK UII, Dr Idul Rishan SH, LLM, Dosen Hukum Tata Negara FH UII, dan Dr Sri Hastuti Puspitasari SH, MH, Dosen Hukum Tata Negara FH UII.
"Keputusan dan tindakan DPR mencopot Prof Aswanto merupakanbentuk dan tindakan yang melampaui kewenangan karena bertentangan dengan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK)," kata Eko Riyadi.
BACA JUGA : Indonesia Perlu Kembalikan Kedaulatan dan Kemandirian Maritim
Selain itu, tuntutan kedua, jika DPR tetap bersikukuh dengan sikapnya, Presiden harus menganulir pengangkatan Prof Guntur Hamzah dengan tidak menerbitkan/menolak mengeluarkan Keppres Pemberhentian Prof Aswanto sebagai Hakim Konstitusi dan Keppres Pengangkatan Prof Guntur Hamzah menjadi Hakim Konstitusi.
Tuntutan ketiga, dalam jangka panjang, masing-masing lembaga baik DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung (MA) perlu merumuskan model serta format seleksi Hakim Konstitusi sesuai prinsip transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel sesuai yang telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU MK.
Ni'matul Huda menambahkan mekanisme penggantian Hakim Mahkamah Konstitusi seharusnya dilakukan secara transparan, partisipatif, objektif, dan akuntabel sesuai Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (2) UU MK. Kewenangan DPR untuk memilih calon hakim MK bukanlah kewenangan mutlak yang tidak terikat pada asas dan norma perundang-undangan.
Selain soal mekanisme pencalonan, tambah Ni'matul Huda, terdapat norma tentang masa jabatan yang harus dihormati dan diikuti. Proses pemberhentian Prof Aswanto dan pengangkatan Prof Guntur Hamzah telah menciderai prinsip dan mekanisme pemilihan hakim MK dan oleh karenanya harus dinyatakan cacat hukum.
BACA JUGA : Rektor : Semangat Proklamasi 45 Terus Kita Kobarkan untuk Kemajuan Universitas
Menurut Ni'matul Huda, pengangkatan Prof Guntur Hamzah menjadi Hakim MK tanpa melalui proses seleksi telah menghilangkan ruang bagi publik untuk memberikan masukan terkait rekam jejaknya dan publik tidak memiliki akses terhadap gagasan-gagasannya terkait masa depan kelembagaan MK.
"Pengangkatan tanpa seleksi juga menutup peluang dan kemungkinan warga negara lain yang memenuhi syarat untuk menjadi hakim MK. Tindakan demikian menciderai semangat untuk menjunjung tinggi kesamaan hak di depan hukum dan pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi," tandas Ni'matul Huda.
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah Lembaga Negara yang eksistensinya diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK bersifat independen, tidak ada hubungan, dan bukan merupakan bagian dari DPR. "Argumentasi bahwa hakim MK harus mewakili kepentingan lembaga pengusul, dalam hal ini DPR, adalah argumentasi yang keliru bahkan sesat," tandasnya.
Ni'matul Huda menjelaskan sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa setiap Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan (termasuk DPR dan Presiden) wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). "Keputusan dan Tindakan DPR mencopot Prof Aswanto merupakan bentuk dan Tindakan yang melampaui kewenangan karena bertentangan dengan UU MK," tandasnya. (*)
BACA JUGA : Dua Kontribusi UAD pada Negara untuk Cetak Generasi Unggul
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].