Prof Bambang Sumiarto : Penjaminan Kesehatan Hewan Belum Jadi Prioritas di Indonesia, Ini Akibatnya
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Penjaminan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat (veteriner) di Indonesia hingga saat ini belum menjadi prioritas. Akibatnya, selama kurang lebih 30 tahun, Indonesia dihadapkan pada permasalahan muncul dan muncul kembali penyakit menular pada hewan, khususnya ternak produktif. Dampaknya, minim ketersediaan pangan asal hewan nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Prof Dr drh Bambang Sumiarto, SU, MSc, Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengemukakan hal tersebut pada seminar bertema Politik Epidemiologi: Memperkuat Analisis Sosial-Ekonomi Melawan Penyakit Hewan Menular di Indonesia di Grha Sabha Pramana UGM, Selasa (28/2/2023). Seminar ini untuk mangayubagyo purna tugas Prof Bambang Sumiarto dari FKH UGM.
BACA JUGA : Prof Poppy Sulistyaning: World Trade Organization Perlu Direformasi, Ini Alasannya
Dijelaskan Bambang Sumiarto, saat ini penjaminan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat (veteriner) di Indonesia menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi, kabupaten dan kota sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan urusan penjaminan kesehatan hewan merupakan sub-urusan pertanian, akibatnya urusan kesehatan hewan menjadi urusan pemerintahan.
Tidak hanya sampai di situ, lanjut Bambang, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mengurusi fungsi kesehatan hewan digabungkan dengan urusan-urusan pilihan lainnya. Fokus penjaminan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat (veteriner) menjadi sangat lemah bahkan tidak menjadi prioritas daerah.
"Padahal untuk menjamin kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat diperlukan upaya surveilans dan pemetaan. Selain itu, juga dibutuhkan penyidikan dan peringatan dini, pemeriksaan dan pengujian, serta pelaporan berbagai penyakit dan non-penyakit yang berpengaruh terhadap kesehatan hewan, masyarakat, dan lingkungan secara berkelanjutan," tandas Bambang.
BACA JUGA : Prof Alim Isnansetyo: Benih Ikan Unggul Tentukan Keberhasilan Produk Perikanan
Kebijakan tersebut, kata Bambang, kemampuan pemerintah dalam mengantisipasi, mengendalikan, dan menanggulangi penyakit hewan, khususnya penyakit infeksi baru (EID) dan REID dipertanyakan banyak pihak. Sebab sistem kesehatan hewan nasional tidak efektif, karena kelembagaan yang mengelola kesehatan hewan nasional sangat lemah.
Mantan Dekan FKH UGM 2009-2012 ini menambahkan banyak masalah serius dalam sektor agraris termasuk sub sektor kesehatan hewan di Indonesia. Namun, karena perumusan kebijakan lebih banyak dikendalikan para elite politik yang lebih mengutamakan kepentingan sesaat, maka tidak banyak perbaikan dalam perumusan kebijakan yang berpihak kepada masalah-masalah tersebut.
"Kebijakan pangan, misalnya, sistem oligarki yang intinya adalah proses perumusan kebijakan publik yang dipengaruhi perkembangan kapitalis begitu kuat. Sehingga kebijakan lebih mengakomodasi kepentingan para elite dan mengesampingkan kepentingan para petani, peternak, atau kepentingan publik secara keseluruhan," tandas Bambang.
Menurut Bambang, wabah penyakit hewan menular menimbulkan ancaman signifikan terhadap sektor peternakan dan kesehatan hewan, memberikan dampak ekonomi dari risiko masuknya penyakit. Dampak ini bersifat multidimensi dan selalu tidak dipahami dengan baik, sehingga memperumit respons kebijakan yang efektif.
“Strategi pengendalian penyakit hewan seringkali gagal untuk mengetahui kendala yang ada di antara petani, layanan kesehatan hewan, dan pelaku rantai nilai lainnya,” katanya.
BACA JUGA : Pakar UGM: Lansia di DIY Butuh Pemberdayaan dan Pendampingan Sosial
Menurut Bambang, peran dan tugas dokter hewan sangat penting dalam pembangunan sektor kesehatan hewan. Tanpa keterlibatan para dokter hewan secara langsung, dipastikan pembangunan di sektor kesehatan hewan akan terbengkalai.
Karena itu, Bambang Sumiarto mengusulkan perlu penguatan persyaratan World Organisation for Animal Health (WOAH) di Indonesia untuk memenuhi filosofi kesehatan hewan Indonesia. Di antaranya, ada Badan Penentu Status Veteriner (Veterinary Statutory Body, VSB), UU Kesehatan Hewan yang komprehensif mengelola hewan di semua matra (air, darat, dan udara), UU Pendidikan Kedokteran Hewan dan Standar Nasional Pendidikan Kedokteran Hewan, dan perubahan sektor kesehatan hewan menjadi Urusan Pemerintah Wajib.
“Persyaratan WOAH sebagai landasan filosofi kesehatan hewan akan terimplementasikan dengan baik di Indonesia jika Badan Otoritas Veteriner (BOV) kuat,” tandas Bambang.
Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Dr drh Muhammad Munawaroh, MM, mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti masukan Prof Bambang Sumiarto untuk memperjuangkan terbentuknya sebuah badan otoritas veteriner yang kuat di Indonesia. Bahkan Munawaroh pun sepakat jika pemerintah membentuk Dirjen Kesehatan Hewan setara Eselon I yang bertugas menangani persoalan penyakit menular dan peningkatan kesehatan hewan. “Selama ini problem kita terkait penanganan penyakit menular dari hewan ditangani oleh dua Kementerian,” katanya.
Munawaroh mengatakan dari pengalamannya mengikuti pertemuan internasional organisasi perhimpunan dokter hewan, Indonesia dianggap masih lemah dalam komitmennya ikut menangani penyakit menular infeksi baru. Sebab Indonesia belum memiliki Badan Penentu Status Veteriner atau Veterinary Statutory Body (VSB). “Dalam pertemuan internasional kadang kita malu ditanya kenapa belum belum ada VSB. Kita akan memperjuangkan terbentuknya VSB ini,” ujar Munawaroh. (*)
BACA JUGA : Prof Syamsudin, Guru Besar UII Mengajak Berhukum Profetik di Zaman Edan, Ini Penjelasanya
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].