Prof Poppy Sulistyaning: World Trade Organization Perlu Direformasi, Ini Alasannya

Info Kampus  
Prof Poppy Sulistyaning Winanti. (foto : istimewa)

JURNAL PERGURUAN TINGGI -- World Trade Organization (WTO) telah kehilangan relevansinya sebagai wadah untuk melakukan negosiasi, penyelesaian sengketa, dan pengelolaan perdagangan global. Sehingga WTO perlu direformasi dalam aspek kelembagaan, pengambilan keputusan, dan cakupan kerja sama.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) Prof Dr Poppy Sulistyaning Winanti, MPP, MSc mengemukakan hal tersebut pada pidato pengukuhan Guru Besar di ruang Balai Senat Gedung Pusat UGM, Kamis (23/2/2023). Poppy Sulistyaning Winanti yang menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Hubungan Internasional menyampaikan pidato berjudul 'Menimbang Kembali Embedded Liberalism untuk Reformasi WTO: Plurilateralisme dalam Multilateral Perdagangan Internasional.'

BACA JUGA : Prof Alim Isnansetyo: Benih Ikan Unggul Tentukan Keberhasilan Produk Perikanan

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dijelaskan Poppy, WTO telah menetapkan kebijakan pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel telah melanggar ketentuan organisasi tersebut. Keputusan panel WTO ini berawal dari tuntutan Uni Eropa selaku penggugat atas dua kebijakan utama pemerintah Indonesia yang melarang ekspor mentah nikel dan kewajiban untuk melakukan proses pertambahan nilai domestik.

"Meskipun telah ditetapkan melanggar peraturan WTO, namun Presiden Joko Widodo menegaskan akan tetap melanjutkan kebijakan larangan ekspor nikel dan fokus hilirisasi di dalam negeri," jelas Poppy.

Lebih lanjut Poppy menjelaskan pertikaian dagang antara Uni Eropa dan Indonesia ini berlangsung pada saat lembaga penyelesaian sengketa WTO tengah dilanda kemacetan. Sehingga organisasi perdagangan dunia ini membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan putusan proses penyelesaian sengketa ini akibat ketiadaan anggota Appellate Body yang merupakan organ penting dalam mekanisme penyelesaian sengketa di WTO.

“Kekosongan anggota Appellate Body WTO ini merupakan salah satu dari deretan bukti bahwa multilateralisme perdagangan di bawah WTO tengah mengalami tekanan luar bisa dalam beberapa tahun belakangan,” kata Poppy.

BACA JUGA : Pakar Hukum UII : Partai Politik Justru sebagai Aktor Perusak Demokrasi

Menurut Poppy, kasus pertikaian dagang ini mencerminkan WTO mengalami stagnasi. Padahal keberadaan WTO saat ini harus mampu beradaptasi dan memberi ruang bagi negara-negara anggotanya dalam menjalankan kebijakan domestik yang tengah dihadapkan pada ancaman nyata perubahan iklim dan perkembangan pesat ekonomi digital.

Saat ini, tambah Poppy, WTO yang mengalami stagnasi membawa implikasi signifikan terhadap perdagangan global. “Stagnasi dalam mekanisme penyelesaian sengketa di WTO berakibat pada tereskalasinya perang dagang di antara negara-negara kuat dan kecenderungan penyelesaian sengketa secara sepihak dan dilakukan di luar mekanisme WTO,” jelasnya.

Menurut Poppy, kondisi ini menandakan WTO memerlukan reformasi dalam aspek kelembagaan, pengambilan keputusan, maupun cakupan kerja sama. Reformasi WTO dapat dilakukan dengan mendorong kembali diterapkannya embedded liberalism.

Embedded liberalism, jelas Poppy, bukan hal baru dalam sistem perdagangan multilateral. Sebab prinsip ini yang melandasi rezim perdagangan sebelum WTO ketika masih di bawah GATT (General Agreement on Tariffs and Trade).

BACA JUGA : Prof Fathul Wahid : Milad ke 80, UII Ingin Lebih Substantif, Inklusif dan Kontributif

Melalui prinsip perdagangan bebas tanpa hambatan dapat mendorong dan memperlancar arus perdagangan barang dan jasa lintas batas negara. Namun demikian, prinsip perdagangan bebas yang membatasi negara dalam mengambil kebijakan untuk melindungi kepentingan dalam merespon tantangan terkini tidak lagi dapat diterapkan dalam kondisi saat ini.

“Prinsip embedded liberalism memungkinkan negara untuk berkomitmen dalam perdagangan internasional sekaligus menjamin ruang fleksibilitas bagi negara dalam memitigasi tantangan ekonomi politik global kontemporer,”tegasnya.

Selain itu, pengelolaan perundingan di dalam WTO juga perlu mempertimbangkan mekanisme plurilateral dalam sistem multilateral yang memungkinkan setiap anggota memilih dan memilah kesepakatan baru secara sukarela, sesuai dengan kepentingan dan tingkat kemajuan ekonomi masing-masing.

Hal yang tidak kalah penting, kata Poppy, dalam situasi dunia kontemporer, dibutuhkan sebuah rezim perdagangan internasional yang kuat dan justru bukan yang lemah seperti yang ada sekarang. Rezim perdagangan internasional yang kuat artinya di satu sisi dapat mengelola perdagangan internasional yang mengutamakan aturan main dan kepastian hukum bagi semua pihak.

Di sisi lain, aturan main tersebut dapat beriringan dengan ruang fleksibilitas yang diberikan kepada anggotanya agar dapat merespons tantangan global yang muncul. “Dengan kata lain kepentingan negara dalam mengatasi tantangan tersebut dapat diakomodasi dalam bentuk prinsip plurilateral yang lebih terintegrasi dalam sistem multilateral sehingga bisa menjadi basis mendesain dan mengelola rezim perdagangan global masa depan,” katanya. (*)

BACA JUGA : Prof Syamsudin, Guru Besar UII Mengajak Berhukum Profetik di Zaman Edan, Ini Penjelasanya

Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image