Pakar Hukum UII : Partai Politik Justru sebagai Aktor Perusak Demokrasi
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Jamaludin Ghafur, SH, MH mengatakan pembangunan demokrasi mutlak membutuhkan kehadiran partai politik (Parpol). Namun tidak semua Parpol dapat mengemban amanah sebagai pilar demokrasi. Sebagian partai justru menjadi aktor perusak tatanan nilai-nilai demokrasi.
Jamaludin Ghafur yang juga Dosen Fakultas Hukum UII mengemukakan hal tersebut pada Pidato Ilmiah pada Rapat Terbuka Senat Milad ke 80 UII di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir di Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Senin (20/2/2023). Pidato Ilmiah mengangkat judul ' Partai Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia.'
BACA JUGA : Prof Syamsudin, Guru Besar UII Mengajak Berhukum Profetik di Zaman Edan, Ini Penjelasanya
Lebih lanjut Jamaludin Ghafur mengatakan hanya partai yang dikelola secara modern dan terinstitusionalisasi sangat kuat (strong institutionalized parties) saja yang kehadirannya dapat diharapkan mampu menumbuhkan dan menyuburkan kehidupan demokrasi yang lebih beradab. "Tanpa kualifikasi 'modern dan terinstitusionalisasi,' partai-partai hanya menjadi benalu bagi demokrasi," tandas Jamaludin.
Jamaludin yang juga Dewan Penasihat Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum (FH) UII mengemukakan ciri-ciri partai yang berkualifikasi modern dan terinstitusionalisasi. Di antaranya, partai selalu menempatkan aturan main di atas segala-galanya, dan depersonalisasi dalam arti urusan pribadi para pengurusnya tidak dicampuradukkan dengan urusan organisasi.
"Sayangnya, jujur harus diakui bahwa hampir semua partai yang ada saat ini bukanlah partai yang modern dan melembaga sebagaimana yang kita harapkan bersama. Sebagian besar partai dikelola secara oligarkis bahkan personalistik, di mana gerak langkah partai sangat ditentukan oleh subjektivitas pribadi para elit. Seringkali, aturan main dalam partai dapat dengan mudah di veto oleh para oligarki partai," tandanya.
Akibatnya, kata Jamaludin, kinerja partai secara umum masih sangat mengecewakan sebagaimana tergambar dari hasil survei opini publik yang dilakukan oleh Kompas periode 1999-2014. Survei itu menyimpulkan berbagai fungsi penting Parpol, baik sebagai penyalur aspirasi, pendidikan politik, perekrutan politik, penggalangan partisipasi publik, dan fungsi kontrol terhadap pemerintah diapresiasi rendah oleh publik.
BACA JUGA : Pakar Hukum Tata Negara UGM : Cawapres Harus Cakap, Ulet dan Loyal
Efek lanjutannya, tambah Jamaludin, sejauh ini praktik demokrasi hanya berjalan di ranah prosedural, tidak secara substansial. Ada beberapa indikator yang menunjukkan demokrasi hari ini cenderung terperangkap sekedar elektoral-prosedural semata. Di antaranya, pertama, tatkala hak-hak politik dan kebebasan sipil meningkat pesat dan siginifikan dibandingkan Thailand dan Filipina, kualitas tata-kelola negara, pemerintahan dan kebijakan, serta penegakan hukum, justru relatif rendah dibandingkan India dan dua negara (Thailand dan Filipina).
Kedua, serangkaian hasil survei mengenai persepsi publik secara umum menunjukkan posisi inferior lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik dan parlemen. Keduanya menjadi institusi yang paling kelam di mata publik, dengan serangkaian dosa panjang yang membuat politik nampak begitu menjijikkan, sesuatu yang bertolak belakang secara diametral dengan imaji positif tentang indahnya kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang dijanjikan demokrasi.
Sedang hasil jajak pendapat publik Lembaga Survei Indonesia (LSI) sejak 2004 secara konsisten ditemukan fakta, masyarakat cenderung berpandangan negatif terhadap Parpol dan para politisi. Karena para politisi yang mengisi lembaga DPR, persepsi terhadap DPR pun secara konsisten cenderung negatif.
Ketiga, keberhasilan demokrasi prosedural dalam Pemilu belum mampu memberikan kontribusi substansial bagi perkembangan demokrasi adalah persoalan yang senantiasa berulang setiap pasca Pemilu yaitu kekecewaan dari rakyat karena sebagian besar janji pemilu jarang ditepati. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya, selanjutnya diabaikan saat kekuasaan telah digapai.
BACA JUGA : P3HKI Susun RPS Hukum Ketenagakerjaan di Perguruan Tinggi Indonesia, Ini Alasannya
"Maka tidak heran bila timbul satu persepsi yaitu janji politik identik dengan kebohongan yang fungsinya tidak lebih dari sekedar pemanis bibir untuk mempersuasi rakyat agar tergerak memilih," tandas Jamaludin.
Paling tragis, kata Jamaludin, lembaga-lembaga politik pilar demokrasi justru menjadi salah satu episentrum korupsi. Sehingga demokrasi Indonesia adalah 'distinktif, jika bukan unik' terletak pada fakta bahwa demokrasi di Indonesia sukses dan gagal sekaligus. "Dikatakan sukses karena saat diseminasi global demokrasi mengalami stagnasi, atau bahkan ditengarai mengalami kemunduran," katanya.
Indonesia, ujar Jamaludin, tampil tak terduga sebagai negara demokrasi paling stabil di Asia Tenggara. Pada sisi yang lain, disebut gagal sebab sistem politik dan birokrasi masih dihantui korupsi sistemik. Bahkan korupsi telahmenyelusup ke dalam tubuh lembaga antikorupsi itu sendiri.
Karena itu, kata Jamaludin, reformasi yang telah berjalan selama lebih dari dua dekade, baru mengantar bangsa Indonesia ke sebuah 'demokrasi delegasi' (delegative democracy), belum sampai pada 'demokrasi perwakilan' (representative democracy). "Dalam representative democracy, para politisi mendengar suara rakyat dan bekerja untuk memenuhi kepentingan rakyat. Sebaliknya, pada delegative democracy, suara rakyat bagaikan anjing yang menggonggong, sementara para politisi adalah kafilah yang terus berlalu," ujarnya.
BACA JUGA : KDRT Masih Dianggap Aib, Kasusnya tak Diproses Hukum
Sudah ada upaya agar Parpol terus memperbaiki performanya demi menopang tumbuhnya demokrasi yang berkualitas. Salah satunya, terus memperbaiki landasan hukum pengaturan partai politik. Terhitung sejak awal reformasi, undang-undang kepartaian telah disempurnakan sebanyak empat kali.
Jamaludin menawarkan tiga solusi untuk memperbaiki kesemrawutan pengelolaan partai politik. Pertama, pengawasan oleh masyarakat. Melalui jalur masyarakat, partai-partai dan para politikus secara berkala diseleksi: dipilih (kembali) atau dihukum dengan tidak dipilih (kembali) dalam Pemilu. Partai yang wajib diberi dukungan suara harusnya adalah partai yang memiliki komitmen memperjuangkan nilai-nilai demokrasi.
Kedua, merombak undang-undang. Undang-Undang Partai Politik harus didorong untuk segera direvisi agar menjadi lebih komprehensif dan tidak ada lagi rumusan norma yang sumir dan tidak jelas. Jangan lagi memberi peluang kepada partai untuk menterjemahkan secara bebas ketentuan dalam undang- undang tanpa disertai rambu-rambu yang jelas. Bahkan bila perlu, kata Jamaludin, hal-hal yang bersifat penting dan fundamental, tidak lagi didelegasikan untuk diatur dalam masing-masing AD/ART partai, tetapi diatur langsung secara terperinci dalam undang-undang.
Ketiga, intervensi pengadilan. Dua solusi di atas sangat ideal jika bisa diterapkan. Sayangnya, arah menuju ke sana sangat terjal sebab harapan agar rakyat berperan memberi reward and punishment terhadap partai kemungkinannya sangat kecil, mengingat sebagian dari mereka memilih partai dalam Pemilu bukan karena pertimbangan rasional, tetapi seringkali karena sogokan materi (politik uang).
Sementara untuk mendorong perubahan UU Parpol juga tidak mudah sebab pembentuk undang-undang posisinya di bawah kendali kekuasaan ketua umum. Jika anggota DPR membuat kebijakan yang bertentangan, apalagi merugikan kepentingan elit partai, rentan disanksi pemecatan (recall).
Menurut Jamaludin, ada baiknya pengadilan sebagai institusi yang otonom dan bebas dari intervensi politik, ikut terlibat memperbaiki kondisi partai dengan membuka diri mau membatalkan berbagai keputusan partai yang tidak ditetapkan secara demokratis, serta berkenan menerima atau melakukan judicial review terhadap AD/ART dan berbagai peraturan yang dibuat partai.
"Sebab disinyalir, munculnya otoritarianisme elit partai karena dilegalisasi oleh konstitusi partai. Jika ditemukan fakta seperti ini, pengadilan wajib meluruskan dan membatalkannya," usul Jamaludin. (*)
BACA JUGA : Alasan Ekonomi tak Relevan sebagai Dasar Penundaan Pemilu 2024
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].