Rektor UII : Dampak Riset tidak Dapat Diukur dengan Uang
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Dampak riset tidak dapat diukur dengan materi atau uang, tetapi hal yang lebih penting adalah konseptualisasi. Sebab konseptualisasi dampak riset sangat berpengaruh pada banyak hal, di antaranya, kebijakan, filosofi dasar, hasil yang dibayangkan, sampai dengan konstekstualiasi hasil.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD mengemukakan hal tersebut saat menerima Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik Profesor kepada Prof Dr Zaenal Arifin MSi, dan Prof Dr Ing Ir Ilya Fadjar Maharika MA, IAI, di Yogyakarta, Jumat (6/10/2023). Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik Profesor diserahkan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDiti) Wilayah V, Prof drh Aris Junaidi.
BACA JUGA : Hasil Penelitian Mahasiswa UGM, Wong Tengger Terabaikan dalam Pembangunan TNBTS
Lebih lanjut Fathul Wahid mengatakan salah satu kritik yang sering dialamatkan kepada perguruan tinggi adalah terkait dengan dampak riset. Diskusi ini sudah membentang sekian dekade di komunitas akademik. Bahkan tidak ada kesepakatan tunggal dalam konseptualisasinya. Dan, memang seharusnya demikian, ketika demokrasi sehat masih hidup di dunia akademik.
Menurut Fathul, dampak penelitian bukan konsep yang sederhana, kecuali bagi mereka yang suka menyederhanakan masalah. Sebab mereka terlalu percaya diri (overconfidence) yang salah satunya disebabkan paparan informasi yang kurang.
Cara pandang tersebut merupakan salah satu kecohan dalam berpikir (logical fallacies). "Kecohan berpikir yang terlalu percaya diri ini menjangkiti banyak orang, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga komunitas terdidik, termasuk profesor," kata Fathul.
Indikasinya, kata Fathul beragam, termasuk kecenderungan pola pikir dikotomis dan linier untuk konteks masalah yang melibatkan banyak variabel. Dampak riset yang tidak bisa dilepaskan dari relevansinya merupakan salah satu contohnya.
BACA JUGA : Peneliti UGM Presentasikan Penelitian di Lindau Nobel Laureate Meeting 2023
Menurut Fathul Wahid, konseptualisasi bisa berangkat dari beragam titik pijak. Bisa jadi, pendekatan riset yang berbeda mengharapkan dampak yang berbeda. Periset yang beraliran positivist, interpretivist, contructivits, realist, critical, atau bahkan performative mempunyai imaji dampak yang berbeda.
Fathul Wahid mengilustrasikan, ketika dampak penelitian dikonseptualisasi terbatas sebagai komersialisasi, maka semua aktivitas yang menghasilkan produk komersial dipastikan sebagai riset yang berdampak. Bahkan, bisa jadi, aktivitas tersebut bukan riset dalam definisi normatif akademik.
"Mungkin aktivitas tersebut termasuk dalam kelas desain rutin atau konsultasi, dan bukan riset desain. Karena tidak memberikan kontribusi kepada pengembangan ilmu pengetahuan. Ini adalah contoh jebakan inklusi," kata Fathul.
Di sisi lain, tambah Fathul, ada juga jebakan eksklusi. Ketika riset tidak langsung memberikan dampak pada komersialisasi produk, riset dianggap tidak berdampak. "Saya membayangkan kolega di disiplin filsafat, sejarah, sosiologi, studi agama, akan "mati gaya" di depan rezim pola pikir seperti ini," katanya.
Kalau kita berani untuk jujur, tandas Fathul, tampaknya sampai level tertentu kebijakan diambil negara saat ini sudah masuk dalam jebakan ini. "Semuanya seakan sempurna dan selesai jika bisa diukur dengan materi atau uang," kata Fathul. (*)
BACA JUGA : Penelitian Simulasi Monte Carlo Antarkan Andrie Pasca Kuliah S3 di Norwegia
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].