Prof Bambang Purwono: Kemosensor Eliminir Fungsi Laboratorium Analisis Kimia

Teknologi  
Prof Bambang Purwono saat menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar. (foto : istimewa)

JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Prof Drs Bambang Purwono, MSc, PhD mengatakan pengembangan kemosensor dengan bantuan teknologi informasi (TI) membuat aplikasi kemosensor dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah, murah, dan real time. Sehingga kehadiran kemosensor ini akan menggantikan fungsi laboratorium analisis kimia.

Prof Bambang Purwono mengemukakan hal tersebut pada pengukuhan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Kimia pada Departemen Kimia Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada (FMIPA UGM) di Balai Senat UGM Yogyakarta, Selasa (11/10.2022). Dalam pidatonya, Bambang Purwono mengangkat judul 'Kemosensor: Prospek Pengembangan dan Tantangannya di Era Industri 4.0.'

BACA JUGA : Ana Nadhya Abrar Dikukuhkan Menjadi Guru Besar

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dijelaskan Bambang, kemosensor sangat diperlukan dalam mendukung deteksi senyawa kimia, monitoring lingkungan, identifikasi senyawa-senyawa kimia dan senyawa pencitra (imaging compounds). Analisis senyawa kimia memerlukan ketelitian dan akurasi tinggi sehingga membutuhkan instrumen canggih dengan biaya dan investasi yang tinggi.

Menurut Bambang Purwono, pandemi Covid-19 telah memberikan pelajaran berharga akan pentingnya alat diagnosis yang cepat dan akurat. Salah satunya, alat Real Time Polymerase Chain Reaction (PCR) yang akurat masih memerlukan waktu yang relatif lama untuk mendapatkan hasil.

Alat-alat canggih tersebut, kata Bambang, dapat tergantikan dengan peralatan yang sederhana, portable, dapat dioperasikan oleh orang awam. Bahkan waktu analisis yang cepat dan memiliki hasil dengan presisi dan akurasi yang memadai seperti kemosensor.

Bambang menjelaskan cara mendeteksi menggunakan kemosensor cukup sederhana dan mudah. Namun pengembangannya sangat bergantung pada analit yang dideteksi, senyawa kemosensor yang dipakai, dan tipe kemosensor yang digunakan.

BACA JUGA : Kartu CLEO, Permudah Siswa Belajar Kimia Karya Mahasiswa UGM

"Senyawa kemosensor dapat berasal dari hasil sintesis maupun bahan alam. Kemosensor kolorimetri (warna) dapat dibuat dari senyawa sintesis maupun bahan alam yang memiliki struktur kimia yang mirip/identik," katanya.

Kata Bambang, salah satu contoh kemosensor yang paling tua dan sudah dikenal luas adalah kertas pH. Bahan ini digunakan untuk mendeteksi sifat keasaman atau kebasaan suatu materi. Strip pH ini mampu membedakan derajat pH suatu larutan dengan teliti tanpa perlu menggunakan alat pH meter. "Cara kerjanya sederhana, murah operasinya, praktis dengan tidak membutuhkan reagensia standard," kata Bambang.

Bahan alam, kata Bambang, juga dapat digunakan sebagai kemosensor kolorimetri yang berasal dari tumbuhan, hewan, maupun mineral. Zat warna alami ini sudah dimanfaatkan sebagai pewarna kain (industri batik), makanan, obat dan kosmestik. “Pengujian secara sederhana mendeteksi kandungan boraks pada makanan dapat menggunakan kemosensor kolorimetri,” jelasnya.

BACA JUGA : Tiga Dosen Jurusan Kimia UII Teliti Kelapa Sawit untuk Obat Covid

Bambang menyebutkan zat warna alami telah digunakan sebagai kemosensor untuk mendeteksi atau penanda kesegaran produk pangan. Contohnya, produk-produk laut seperti udang, ikan, cumi, dan lainnya mudah rusak dengan menghasilkan senyawa-senyawa amina yang menimbulkan bau dan peningkatan pH.

"Zat warna alami dari kunyit atau antosianin dapat digunakan untuk mendeteksi kesegaran ikan. Ikan yang mulai mengalami kerusakan akan memberikan perubahan warna kurkumin/antosianin yang berbeda dari warna asal kurkumin (kuning) atau antosianin (merah)," terangnya.

Kemosensor berbahan dasar biomass juga berkembang dengan cepat sejak ditemukaannya material karbon yang diberi nama Carbon nanodot (C-Dots). Beberapa bahan biomassa seperti kulit telur, rumput, kulit buah, dan daun juga telah digunakan sebagai bahan dasar sintesis C-Dots dengan metode bottom-up.

Bahan lain, kata Bambang, yang menarik untuk dikembangkan sebagai C-Dots adalah ampas kopi. Potensi pengembangan C-Dots dari ampas kopi ini sangat besar melihat produksi kopi seluruh dunia pada tahun 2021 mencapai 10,2 juta ton.

BACA JUGA : Kolaborasi Dosen Prodi Kimia dan Kelautan UNIPA Kembangkan Pelet Ampas Sagu

Ampas kopi berisikan bahan organik tinggi yang tidak mudah terdegradasi seperti tannin, kafein dan lemak. Bahan ini dapat digunakan untuk senyawa pendeteksi besi, tembaga, sodium siklamat dalam makanan dan pencitraan sel kanker HeLa.

Bambang menyebutkan penggunaan teknologi informasi yang digabungkan dengan kepentingan Color Changing Sensor (CCS) menjadi trend baru dalam kimia analisis. Selain itu, pemanfaatan smartphone dan Internet of Thing (IoT) semakin memodernisasi teknologi analisis kimia. Dengan teknik ini, biaya analisis menjadi rendah dan hasilnya pun dengan cepat segera diketahui. (*)

BACA JUGA : Tiga Dosen UII Latih Warga Umbulmartani Olah Minyak Jelantah Jadi Solketal

Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image