PTN dan PTS Didorong Kolaborasi untuk Hasilkan Publikasi Berkualitas, Ini Alasannya
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) diharapkan berkolaborasi dalam penelitian dan publikasi. Menyusul menurunnya jumlah publikasi yang terjadi di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia, akibat minimnya kolaborasi internasional dan pandemi Covid-19.
Dorongan tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi(Kemendikbudristek) Prof Ir Nizam, MSc, PhD saat menjadi pembicara kunci pada pertemuan Majelis Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (MSA PTN-BH) di Grha Sabha Pramana UGM Yogyakarta, Sabtu (12/11/2022). Pertemuan tersebut mengangkat tema Rekognisi Internasional Perguruan Tinggi Indonesia melalui Peningkatan Ranking QS.
BACA JUGA : Dr Qurtubi, Dosen UII dan Reviewer Jurnal Internasional Bereputasi
"Memang di banyak negara terjadi penurunan kualitas publikasi, termasuk Indonesia. Jangan sampai publikasi kita rendah di ASEAN karena tidak banyak kolaborasi publikasi," kata Nizam.
Menurut Nizam, minimnya jumlah publikasi internasional disebabkan sedikitnya kolaborasi publikasi antar perguruan tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu jumlah sitasi juga mengalami penurunan. "Karena itu, antar sesama perguruan tinggi negeri maupun swasta perlu membangun kolaborasi untuk riset dan publikasi," harap Nizam.
Nizam membandingkan publikasi dengan Saudi Arabia yang naik signifikan karena melakukan kolaborasi riset internasional. “Saudi Arabia banyak menerima ahli dari luar negeri. Kita masih paling bawah dalam hal kolaborasi dan publikasi. Hal yang perlu kita lakukan kualitas publikasi dengan meningkatkan jumlah jurnal internasional,” katanya.
Saat ini, jumlah perguruan tinggi Indonesia lebih 4.500 dan ada sekitar 16 ribu jurnal. Namun dari 16 ribu jurnal tersebut, hanya 118 jurnal saja yang terindeks Scopus. “Paling tidak Indonesia memiliki 500 jurnal yang masuk dalam Scopus,” harapnya.
BACA JUGA : Magister PEP UNY dan UPM Kolaborasi Tingkatkan Kompetensi Guru SD, Bidang Apa Saja?
Karena itu, Nizam mengharapkan 21 perguruan tinggi yang sudah berstatus PTN-BH, menambah jumlah jurnal berstandar internasional, “Mohon seluruh PTN-BH untuk masuk top jurnal berbahasa Inggris. Ini sebagai kunci kita membawa publikasi ke panggung dunia,” katanya.
Sedang Kepala Kantor Jaminan Mutu UGM, Prof Indra Wijaya Kusuma mengatakan pengelolaan reputasi akademik di sebuah perguruan tinggi menjadi salah satu indikator penilaian dari lembaga pemeringkatan internasional. “Perangkingan bukanlah tujuan tapi kualitas kita terlihat dalam perangkingan itu,” kata Indra.
Ia menceritakan, UGM sejak 2009 tidak melayani permintaan data dari lembaga QS. Akibatnya, peringkat UGM melorot setiap ada hasil pemeringkatan yang dirilis oleh lembaga ini. “Sejak 2009 kami tidak melayani data dari mereka sehingga ranking kita terus menurun sampai posisi 555,” katanya.
Namun pada tahun 2015, kata Indra, pemerintah melalui Kemendikbud Riset meminta UGM bersama 11 universitas lain untuk menjadi perguruan tinggi berkelas dunia dengan masuk daftar ranking 500 besar dunia versi QS World University Rankings (WUR). Melalui program World Class University (WCU) dari Kemendikbud, peringkat UGM bisa naik ke 231 dunia dalam versi QS WUR tahun 2022. Sedang di Indonesia, UGM menduduki peringkat pertama, disusul ITB dan UI.
BACA JUGA : Jurusan Arsitektur UII Gelar Konferensi Internasional EduArchsia 2022
Menurut Indra, peningkatan reputasi akademik di kampus UGM dilakukan dengan menggalakkan berbagai penelitian nasional dan internasional. Di samping itu, juga mendorong jumlah sitasi per fakultas, menambah rasio dosen dan mahasiswa, kolaborasi riset dan menambah jumlah dosen asing.
Ketua Tim Task Force WCU ITB, Dr Yosi A Hidayat mengatakan penilaian reputasi akademik dari lembaga QS diukur dari hasil survei mitra akademik dan mitra pengguna lulusan dari masing-masing kampus. Bahkan bobot penilaiannya pun mencapai 30-50 persen. “Setiap tahunnya kami menambah 400-500 mitra akademik dan pengguna lulusan baru untuk mendukung survei kita,” kata Yosi.
Dari hasil evaluasi yang dilakukan ITB, kata Yosi, dari 2.583 mitra ITB, sekitar 56 persen berasal dari mitra dalam negeri dan 43,8 persen dari luar negeri yang sebagian besar berasal dari Jepang dan Malaysia. Yosi berpendapat minimnya kolaborasi mitra akademik internasional inilah yang menjadikan perguruan tinggi di Indonesia selalu berada jauh peringkatnya dibandingkan dengan Universitas Malaya Malaysia dan National University Singapore (NUS).
BACA JUGA : UII dan Research Synergy Foundation Gelar Konferensi Internasional Lingkungan Hidup
Yosi menambahkan NUS berada di peringkat 11 dunia dan posisi pertama di Asia. Sedangkan universitas Malaya masuk peringkat 65 dunia pada rilis QS World University Ranking yang dirilis pada Juni lalu.
Sementara Ketua Tim Kerja WCU Universitas Indonesia (UI), Prof Djoko Triyono mengatakan UI bersama UGM dan ITB ditargetkan masuk dalam daftar 200 besar dunia setelah sebelumnya berhasil memasuki 500 besar dunia. Untuk mendorong agar peringkat semakin naik, kata Djoko, UI melakukan berbagai program internasionalisasi di berbagai bidang.
Sebab beberapa indikator yang penilaian QS yang mengalami penurunan di UI adalah soal reputasi akademik, rasio dosen dan sitasi per fakultas. “Reputasi sangat bergantung pada dosen. Jangan lagi dosen itu saja yang publish dan kita berusaha semakin banyak dosen berkontribusi dalam sitasi melalui dana WCU,” kata Djoko Triyono. (*)
BACA JUGA : Visiting Professor, Prodi Statistika UII Tingkatkan Mobilitas Internasional
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].