Eric Jones : Kerjasama NIU-UWM untuk Aktualisasi Kemitraan Intelektual dan Pemimpin, Ini Sejarahnya
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Kerjasama antara Northern Illinois University (NIU) Amerika Serikat dan Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta menggelar konferensi internasional akan membuka kemitraan antara intelektual dan pemimpin. Sejarah telah membuktikan kemitraan antara intelektual dan pemimpin berhasil mengatasi persoalan bangsa.
Associate Professor Eric Jones PhD, Executive Director of Global Initiatives NIU mengungkapkan hal tersebut pada International Conferences on The 2022 G-20 Bali Summit in Focus : Indonesia on The Global Stage di Yogyakarta, Rabu (24/1/2023). Konferensi ini akan membahas 74 call paper tentang tiga topik yaitu Arsitektur Kesehatan Global, Transisi Energi Berkelanjutan, dan Transformasi Digital.
BACA JUGA : UWM dan NIU Kerjasama Kembangkan Pendidikan untuk Semua
Lebih lanjut Eric Jones menjelaskan kemitraan antara kaum intelektual dan pemimpin telah terjalin sejak Republik Indonesia ini berdiri. "Konferensi internasional ini menjadi awal yang baik bagi terwujudnya keterbukaan dan kemitraan kaum intelektual dan pemimpin untuk menghadapi kerasnya tantangan perubahan zaman," harap Eric Jones.
Sebagai sejarawan, Eric Jones yang mendalami tumbuh-kembang Indonesia sejak masa kolonial sampai menjadi Republik Indonesia, mencatat tiga momentum penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Di tiga momentum tersebut Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat telah memainkan peran krusial.
Pertama, kata Eric Jones, di masa-masa awal terbentuknya Republik Indonesia. Kasultanan memberikan tempat dan perlindungan para pemimpin republiken sehingga bayi Republik Indonesia yang masih merah kulitnya itu dapat terus hidup dan tumbuh di atas kakinya sendiri.
"Ini adalah fakta sejarah yang tak bisa dipungkiri bahwa kebijaksanaan Sultan Hamengku Buwono IX saat itu menjadi tonggak penting dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia yang telah menginjak usia 77 tahun," kata Jones yang mendapat gelar Daeng Marewa dari Makassar.
BACA JUGA : Konsorsium Delapan Universitas Berhasil Bentuk Perkumpulan Masyarakat Tangguh Tanggap Bencana
Momen kedua, kata Jones, yang seringkali dilupakan, adalah bagaimana Sultan Hamengku Buwono IX kembali menjalankan tugas sejarahnya membangun ekonomi Republik Indonesia dari krisis di tahun 1966. Sebagai Menteri Utama Bidang Ekonomi dan Keuangan pada Kabinet Ampera I, Sri Sultan HB IX bekerja keras untuk membangun kembali fondasi ekonomi Indonesia yang luluh lantak.
Menurut Jones, keberhasilan Sri Sultan HB IX tidak lepas dari keyakinan Ngarso Dalem bahwa keterbukaan dan kemitraan adalah kunci untuk memulihkan ekonomi nasional. Di sini Sri Sultan HB IX berperan sebagai pengayom dari Tim Ekonomi yang dipimpin Profesor Widjojo Nitisastro dari Universitas Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley. Mereka bekerja sama untuk mengubah perekonomian nasional dari ekonomi terpimpin menjadi ekonomi terbuka sehingga kepercayaan pasar dapat diraih kembali dan rekonstruksi ekonomi dapat berlangsung dengan baik.
Di fase ini, kata Jones, Sri Sultan HB IX tidak dapat bekerja sendiri untuk memulihkan ekonomi. Sri Sultan HB IX memerlukan kontribusi dari para ahli ekonomi untuk dapat merancang kebijakan yang dapat dipercaya pelaku pasar.
"Sebaliknya, Profesor Widjojo Nitisastro dan timnya juga tidak dapat bekerja sendiri hanya dengan berdasarkan keahlian ekonominya. Mereka memerlukan legitimasi dan dukungan dari Sri Sultan HB IX yang tidak saja mencakup aspek politik tetapi juga kultural sehingga resep-resep ekonomi yang secara politis tidak populer dapat diterima dengan baik oleh masyarakat," tambah Jones.
BACA JUGA : Konsorsium Perguruan Tinggi Sosialisasikan Budaya Tangguh Bencana, Ini Maksudnya
Momen ketiga, kata Jones, peran Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam mengawal transisi demokrasi di era reformasi melalui Deklarasi Ciganjur. "Sekali lagi, Kesultanan Yogyakarta memberikan teladan bagaimana keterbukaan berpikir dan kerja sama adalah kunci dalam menyikapi perubahan zaman," tandas Jones.
Poin-poin yang disepakati dalam Deklarasi Ciganjur tanggal 10 November 1998 tersebut seperti penguatan lembaga legislatif dan independensi lembaga penyelenggara Pemilu. Kemudian poin-poin tersebut dapat diakomodasi dalam tiga undang-undang politik yang menjadi fondasi transisi demokrasi di Indonesia.
Menurut Jones, seperti halnya peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam mengatasi krisis ekonomi di tahun 1966, maka di tahun 1998 Sri Sultan Hamengku Buwono X memberi legitimasi bagi pelaksanaan reformasi. "Legitimasi tersebut membuka jalan bagi para alumni NIU yang tergabung dalam Tim Tujuh untuk merancang tiga undang-undang politik yaitu (1) Undang-undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; (2) Undang-undang Partai Politik; (3) Undang-undang Pemilu," kata Jones.
Selanjutnya, kata Jones, tiga undang-undang tersebut menjadi dasar bagi penguatan lembaga legislatif sekaligus jaminan akan independensi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu. "Hasilnya dapat dilihat dari terselenggaranya Pemilu 1999 sebagai Pemilu yang jujur dan adil untuk pertama kalinya sejak 1955. Pemilu 1999 juga menghasilkan lembaga legislatif yang lebih efektif dalam mengawasi eksekutif dan menghasilkan produk hukum sebagaimana terlihat dari empat amandemen Undang-Undang Dasar 1945," ujarnya.
Menurut Jones, dari ketiga momen tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa keterbukaan dan kemitraan adalah kunci dalam menghadapi perubahan zaman. Transisi dari kolonialisme menuju kemerdekaan; transisi dari ekonomi terpimpin menjadi ekonomi yang terbuka; serta transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi memerlukan keterbukaan berpikir dan kemitraan antara pemimpin dengan intelektual.
"Legitimasi politik-kultural yang diperankan Sri Sultan bertemu dengan legitimasi konseptual-intelektual yang diperankan oleh para tokoh pendiri Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, para ekonom alumni Universitas California-Berkeley dalam membangun fondasi ekonomi, dan para ahli politik alumni Northern Illinois University dalam membangun fondasi demokrasi," tandasnya. (*)
BACA JUGA : Rektor UWM Meminta Wisudawan Warisi Karakter HB IX
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].