Teknologi

Prof Fathul Wahid : Pegang Teguh Nilai Abadi Saat Mengolah Big Data

Rektor UII, Prof Fathul Wahid. (foto : screenshotyoutube/heri purwata)

JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD, Pakar Bidang Sistem dan Teknologi Informasi mengajak data scientist memegang teguh nilai abadi (keadilan, kejujuran, dan kesetaraan) dalam mengolah Big Data. Sebab dalam Big Data banyak sekali sisi gelapnya sehingga sering kali data scientist tidak menyadari terjebak pada sisi gelap tesebut.

Prof Fathul Wahid yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) mengemukakan hal tersebut saat membuka Seminar Nasional dan Statistika Ria dan Festival Sains Data (Satria Data) 2022 secara virtual, Sabtu (15/10/2022). Acara yang mengangkat tema 'Genggam Data Kuasa Dunia Menuju Era Otomatisasi' ini diselenggarakan Program Studi Statistika, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII.

BACA JUGA : Prof Bambang Purwono: Kemosensor Eliminir Fungsi Laboratorium Analisis Kimia

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Kalau sisi gelap Big Data kita eksploitasi, maka ujungnya kita akan menjadi fasilitator eksploitasi manusia atas manusia yang lain. Ini yang disebut oleh Shoshana Zuboff seorang Profesor dari Harvard University, dengan Surveillance Capitalisme atau Kapitalisme Pengintaian," kata Fathul Wahid.

Kapitalisme pengintaian, jelas Fathul Wahid, manusia diintai dengan segala aktivitasnya, mulai aplikasi, sosial media oleh situs-situs yang digunakan. Ujung pengintaian adalah manipulasi opini dan penggiringan perilaku orang yang diintai.

Menurut Fathul, hal ini menjadi menarik karena tanpa sadar, algoritma menjalankan seseorang, algoritma yang membuat seseorang tidak sadar atas pilihan-pilihan yang dianggapnya rasional, padahal tidak rasional. "Karena algoritma sudah didesain dengan beragam cara, termasuk menggunakan new sains, psikologi dan lain-lain. Karena itu, saya mengajak bagaimana nilai kita suntikan saat mengolah Big Data," harap Fathul Wahid.

Penggiringan perilaku seseorang, lanjut Fathul Wahid, sering diwujudkan dalam kampanye politik. "Menggunakan Big Data, kesadaran konstituen dimainkan, digiring, dan ini bukan isapan jempol. Ini riil, nyata. Misalnya, studi dari Universitas Oxford Inggris, menemukan bahwa tahun 2020, aktivitas pasukan cyber (sebetulnya pengumpan data) di ruang maya, telah berlangsung di 70 negara," kata Fathul.

Proses penggiringan ini, tambah Fathul, tidak hanya melibatkan manusia, tetapi akun tertomatisasi atau robot politik atau political robot. Tugasnya mengaplikasi dengan cepat. Data digelontorkan dan penggunaan otomatisasi ini ditemukan di 50 negara, termasuk Indonesia," katanya.

BACA JUGA : Prof Khang Tsung Fei : Perlu Mendesain Penelitian Statistik untuk Kesehatan

Dijelaskan Fathul Wahid ada tiga tingkatan dalam mengolah Big Data yaitu Data Driven, Data Informed, dan Data Inspired. Tingkatan pertama, Data Driven, dalam mengolah data, seorang data scientist tidak mempertimbangan akal sehat atau common sense.

Tigkatan kedua, Data Informed. Tingkatan ini data scientist mempunyai kesadaran kontekstual, mengumpulkan data dan sekaligus menggunakan akal sehat untuk menganalisanya. Konteks dicermati, berfikir kritis dan bisa juga berfikir lebih jauh. apakah data yang dimiliki bisa diekstrapolasi atau tidak.

"Tidak semua data bisa kita eksplorasi, karena di sana banyak jebakan. Salah satu jebakan adalah berpikir linier. Padahal di dunia ini banyak hal yang tidak linier. Jebakan ini mulai kita pikirkan ketika kita menggunakan perspektif terinformasi data," jelasnya.

Sedang tingkatan ketiga, Data Insipired. Tingkatan ini seorang data scientist memiliki sikap yang lebih kritis. Mereka menggunakan akal sehat, melibatkan kreativitas, melengkapi data lain yang relevan, membangun narasi di belakang data, membangun cerita pendukungnya, bahkan membangun hipotesis, dan imajinasi kemungkinan-kemungkinan.

BACA JUGA : Tim Mahasiswa Universiti Malaya Malaysia Juarai Statistika Enthusiastic 2022

Ketika data scientist bergerak dari data driven ke data inspired maka akan banyak intepretasi data. Data scientist dituntut untuk mengembangkan kecakapan untuk membangun cerita di belakang data.

Fathul berharap hal tersebut menjadi refleksi bersama, apakah data scientist terjebak pada data driven atau sudah menjadi lebih maju sebagai data inspired. Sebab tema ini menarik dan ujungnya pada otomatisasi.

Fathul teringat pada artikel populer yang terbit tahun 1990 di Harvard Business Review, tulisan Michael Hammer berjudul, Reengineering Work: Don't Automate, Obliterate. Dalam tulisan tersebut, otomatisasi yang berdasarkan data driven tidak selalu menghasilkan perubahan-perubahan yang luar biasa.

"Hammer menawarkan data scientist harus obliterate atau harus berubah, harus berpikir discontinue lepas dari masa lampau. Ini hanya mungkin terealisir kalau kita berpikirnya lebih jauh lagi, tidak hanya berdasarkan data driven, tetapi data inspired," harap Fathul Wahid. (*)

BACA JUGA : Pojok Statistik Mendekatkan Mahasiswa dengan Data

Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: [email protected].

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image