Prof Edy Suyanto : Pengelolaan Sampah Belum Sentuh Aspek Sosial
JURNAL PERGURUAN TINGGI -- Sampah menjadi permasalahan di berbagai kota Indonesia. Berbagai upaya, seperti sistem hanggar dan pusat daur ulang (PDU) telah dilakukan masing-masing kota dan berhasil mengurangi timbunan sampah. Namun secara sosiologis keberhasilan tersebut belum optimal.
Hal ini dikarenakan partisipasi masyarakat hanya sebatas membayar iuran sampah ke Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) pengelola sampah. Sehingga masyarakat berpersepsi setelah membayar iuran sampah, tugas mereka dalam pengelolaan sampah selesai.
BACA JUGA : Semakin Sedikit Profesor Menjadi Intelektual Publik
Kondisi tersebut memunculkan anggapan bahwa pengelolaan sampah merupakan tugas KSM. Masyarakat hanya memperoleh keuntungan dari aspek lingkungan saja. Sedangkan aspek ekonomi tidak diperoleh dan aspek sosial dari hasil sampah tersebut juga tidak didapatkan masyarakat.
Prof Dr Edy Suyanto, MSi, mengemukakan hal tersebut pada pengukuhan Jabatan Profesor Bidang Ilmu Sosiologi Lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, Selasa (1/8/2023). Prof Edy Suyanto mengangkat judul Ekosentrisme (The Deep Ecology) Model Etika Lingkungan dalam Pengelolaan Sampah Lintas Rumah Tangga Berbasis Partisipasi Masyarakat : Upaya Mewujudkan Zero Waste Mendukung Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan.
Edy Suyanto menjelaskan dalam pandangan Antroposentrisme, hanya manusia yang mempunyai nilai. Sedang alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan manusia. Manusia dianggap berada di luar lingkungan (trancendent), di atas lingkungan, dan terpisah dari alam.
Cara pandang Antroposentrisme ini menganggap manusia sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Cara pandang Antroposentrisme melahirkan sikap dan perilaku eksploitasi tanpa kepedulian sama sekali terhadap lingkungan. "Etika Antroposentrisme dianggap menjadi salah satu penyebab rusaknya lingkungan," kata Edy.
BACA JUGA : Prof Widodo Brontowiyono : Senin dan Kamis tanpa Konsumsi untuk Tekan Sampah
Menurut Edy, kehadiran etika baru Paham Ekosentrisme menuntut perubahan radikal etika masyarakat modern. Etika ini tidak hanya berlaku pada interaksi antarmanusia, tetapi juga interaksi manusia dengan seluruh kehidupan di Bumi.
Etika ini memandang alam bernilai pada dirinya sendiri dan pantas diperlakukan secara bermoral, serta menghargainya. Etika Ekosentrisme ini tidak berhenti pada tataran teori, tetapi menerapkan sebagai gerakan sosial.
Mengutip Arne Naess, kata Edy, krisis lingkungan global yang dihadapi manusia dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia. Pada gilirannya menyebabkan kesalahan pola perilaku manusia yang bersumber dari kesalahan cara pandang tersebut.
"Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam. Inilah awal semua bencana lingkungan hidup yang dialami manusia sekarang ini," tandas Edy.
BACA JUGA : Tim PKM UAD Inisiasi Penyelesaian Sampah di Rumah Tangga, Ini Caranya